Baru saja Edit membuka engsel pintu pagar rumahnya, tiba-tiba Tina dari dalam rumah berlari-lari sambil meneriaki namanya, persis seperti adegan kuda lumping kesurupan.
"Mas Ediiit!" Kemudian dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya yang mirip intruksi tim gegana ketika menjinakkan bom, "Jangan masukin motornya duluu!"
Kontan Edit ternganga di atas hondanya. Sementara Tina ngos-ngosan menghadang ban depan motor Edit itu.
"Plis, Mas, pliis...!" Tina memohon dengan ekspresi hampir menangis sambil menutup pintu pagar, membuat Edit mau tidak mau harus memundurkan motornya kembali ke luar.
"Ada apa sih, Na?"
"Penting, Mas! Penting banget! Lu cepet anterin gue ke Alfamart!" tanpa dikomando apalagi diberi aba-aba, Tina tahu-tahu sudah duduk di belakang Edit.
"Kenapa nggak sama Mbak Nita sih? Mas kan baru pulang kuliah!" Edit mencoba menyampaikan aspirasinya, tapi keburu dibungkam oleh ancaman Tina yang disertai isakan memilukan.
"Ya udah kalo lu nggak mau nganterin juga, sini gue yang nyetir sendiri, biarin kalau gue ketabrak di jalan. Emang orang di rumah ini nggak ada yang peduli sama gue!" Tina ngambek. Bulir-bulir air seakan sudah siap meluncur sejak tadi dari kedua bola matanya dan juga hidungnya. Jurus ampuh yang dapat memaksa Edit terenyuh dan iba.
Biar bagaimanapun, Edit tahu persis Tina belum lihai mengendarai motor, maka dengan berat hati dan pikiran yang sesak oleh kebingungan, Edit pun menuruti permintaan adik bungsunya itu.
"Ya sudah Mas anter deh, mau beli apa sih?"
Tina tersenyum super lebar, tanpa jawaban.
"Cepetan, Mas!"
***
Lima mini market, tujuh tempat loper koran yang kebanyakan sudah nyaris tutup karena memang sudah cukup malam, semuanya disambangi oleh motor Edit, namun nihil, apa yang Tina cari belum juga didapatkan. Setengah putus asa gadis SMA itu melapor pada Edit.
"Gimana nih, Mas... semua bilang udah kehabisan!"
Demi melihat wajah depresi adiknya itu kembali menyimpan harapan, Edit pun mengalahkan rasa lelahnya.
"Di dekat patal kalau nggak salah masih ada satu tempat loper lagi, lumayan besar, coba cari di sana, mungkin ada!"
Tina buru-buru melesat ke jok belakang Edit tanpa kata. Mas kesayangannya itu pun langsung menancap gas.
Dugaan Edit benar, tempat loper itu rupanya masih menyimpan banyak stok tabloid yang dicari-cari oleh Tina. Abang penjualnya bahkan sudah tahu apa yang sedang dicari-cari Tina sebelum gadis itu mengatakannya.
"Nyari tabloid SupperStarr kan?"
Ckckck...
Rupanya tabloid itu memang sedang laris manis tanjung timpul, membuat rasa penasaran Edit makin runcing saja.
"Ada berita apa sih, Na? Kok segitu perlunya?" Edit mencoba mengintip-intip.
Tina masih mematung di depan tempat loper itu, asyik menatapi cover tabloid yang dengan tetes keringat dan air mata akhirnya berhasil ia peroleh. Setelah Edit mengulangi pertanyaannya untuk kedua kalinya barulah Tina mampu menjawab.
"Ini edisi spesial BBF keempat, Mas! Gue nggak mau ketinggalan."
"BBF?" Edit tidak mengerti.
Tina pun membalik cover tabloidnya ke arah Edit. Terpampanglah foto empat orang cowok yang memamerkan aura kegantengan Asia, dengan deretan gigi rapi berkilau dan pandangan mata yang menghipnotis seolah minta dibeli. Edit terpelongo tidak percaya, rupanya pengorbanannya malam ini hanya demi untuk...
"Boys Before Flowers!" Tina tersenyum haru.
Edit nge-gubrak dalam hati.
"Kamu apa-apaan sih, Dit? Ngapain semalam kamu antar Tina segala?"
Keesokan paginya, setelah Tina berangkat sekolah, sebelum Edit ngampus, Mbak Nita melayangkan teguran. Edit sudah bisa menduga sebelumnya, karena sepulang dari patal semalam Tina menyembunyikan tabloid cover BBF itu begitu sampai rumah. Takut apalagi? Pasti takut ketahuan Mbak Nita.
"Lihat tuh si Tina! Kayak pemuja berhala di zaman Nabi Ibrahim." Seloroh kakak sulungnya itu lagi.
"Masa' sih, Mbak?" Edit meragukan karena memang Mbak Nita sering terkesan lebay.
"Cuma membeli tabloid apa salahnya to?" Edit kembali berujar.
"Lihat sendiri dengan mata kepalamu!" potong Mbak Nita sambil menunjuk ke arah kamar Tina.
Edit menyibak tirai kamar Tina. Poster-poster ukuran besar tertempel di mana-mana, persis kayak musim kampanye. Semuanya memajang wajah cowok-cowok tampan berbagai pose dengan huruf bulat-bulat khas Korea yang menunjukkan nama mereka, bahkan Edit sendiri mengakui wajah para model itu memang tertib. Andai saja mereka memakai baju koko, celana bahan, kemudian ikut casting KCB, pastilah jumlah penonton akhwat makin membludak.
"Bahkan di kaca lemari pun dia tempel poster berhala itu! Lemari itu kan berada di arah kiblat!" seru Mbak Nita berang.
Jujur saja, Edit masih merasa telinganya tertusuk dengan kata berhala, apakah tidak ada padanan kata lainnya yang lebih enak didengar?
"Tina bilang mereka itu idolanya, kamu bayangkan saja orang-orang kafir seperti itu jadi idola! Tiap hari menyetel lagu-lagu mereka, bahkan dihapal-hapal segala, semalam saja dia baru tidur jam dua belasan karena menonton sinetron Korea itu!" Mbak Nita menunjuk-nunjuk televisi.
"Ssst, Mbak, nggak baik loh bilang seseorang kafir ketika masih hidup, barangkali suatu hari mereka jadi mualaf kayak Jacko, hayyo!" kata-kata Edit itu malah bikin Mbak Nita makin geram.
"Sudah dari dulu Mbak mau robek poster-poster itu, tapi Tina mengancam mau kabur dari rumah kalau Mbak rusak sedikit saja poster itu! Keterlaluan kan?"
Edit terhenyak. Sepertinya ia memang terlalu asyik dengan urusannya sendiri hingga tidak memperhatikan kelakuan Tina akhir-akhir ini.
Benarkah apa yang dilaporkan mbak Nita tadi? Atau mbak Nita saja yang berlebihan? Tapi kalau diingat-ingat lagi kejadian semalam, nampaknya ke-lebay-an mbak Nita kali ini memang beralasan. Edit merasa harus melakukan sesuatu. Secara, dialah pemimpin di rumah ini.
Sejak Bapak meninggal, Ibu bekerja di luar. Pagi sekali sudah pergi, terkadang malam sekali baru kembali. Tina yang baru saja lahir begitu saja dipercayakan pada pengasuh. Inilah yang membuat Edit iba pada si bungsu.
Dulu, Nita dan Edit diajarkan mengaji oleh Ibu, dimarahi setiap ketinggalan shalat jamaah di masjid oleh bapak, mereka pun disodorkan bacaan-bacaan mengenai agama, pengetahuan umum, dan kisah-kisah. Akan tetapi Tina tidak. Makanya Edit selalu merasa ikut andil dalam kesalahan pengasuhan adiknya itu.
Setidaknya ia tidak ingin mendidik Tina dengan kekerasan sebagaimana mbak Nita contohkan. Yang ia lihat, kekerasan hanyalah memancing kekerasan yang lain.
Salahnya, proses pencarian data skripsinya akhir-akhir ini membuatnya luput memperhatikan Tina. Mana ia tahu kalau saat ini si bungsu terserang demam BBF? Kalau saja tadi malam ia tidak menjadi korban keganasan wabah ini, tentu ia takkan percaya bahwa demam BBF begitu parah.
Beberapa hari ini Edit mulai melakukan pemantauan. Rupanya benar, begitu pulang sekolah Tina langsung menghidupkan komputer dan menyalakan winamp. Lagu 'Paradise' berkumandang keras, tampaknya inilah lagu soundtrack BBF itu. Layaknya orang budek, Tina duduk di depan speaker persis. Sambil membuka tabloidnya, ia pun ikut menyanyikan lagu itu dengan gegap gempita, seolah sedang mengikuti pertunjukan musik live.
Tidak hanya sekali, lagu 'Paradise' itu saja diulangnya hingga tujuh-delapan kali, belum lagu lainnya. Kelihatan jelas Tina berupaya menghapal mati lirik lagu berbahasa Korea itu. Hal yang tidak pernah dilakukannya jika untuk menghapal surat pendek dalam juz'amma.
Begitu Edit mencoba pedekate, masuk ke kamarnya dan memancing pembicaraan mengenai BBF. Roman muka Tina langsung terlihat begitu senang. Dengan antusias ia perkenalkan satu per satu nama tokoh F4 dan 'Sanchai' versi Korea itu.
"Ini Lee Min Ho, Mas! di BBF dia jadi Goo Junpyo. Nah, pasangannya itu Geum Jandi, nama aslinya Gyo Hye Sun, mirip kan sama gue?" Tanya Tina sambil tersenyum amat lebar, berusaha meniru pose Gyo Hye Sun di salah satu poster. Meski dalam hati merasa miris, tetap saja Edit mencoba tidak menyakiti perasaan adiknya itu. Ia tersenyum dipaksakan.
"Mas boleh pinjem tabloidnya nggak?"
"Buat apa?" Tina bertanya penuh selidik.
"Baca-baca aja. Masa' nggak boleh?"
Tina memajukan bibirnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan matang-matang.
"Boleh sih, asal jangan lecek, jangan ada yang sobek, jangan kena air apalagi minyak, jangan didudukin, jangan ditidurin, en jangan ada yang dicoret-coret! Ini udah gue setrika tauk!" Tina mencoba meyakinkan bahwa tabloid itu adalah pusaka keramat yang paling penting di muka bumi ini, sehingga untuk membawa ke kamarnya saja, Edit harus dipantau dengan cermat.
Huaahh...
Begitu sampai di wilayah kekuasaannya. Edit memulai aksinya. Ia melakukan apa yang selalu dilakukan oleh missionaris tapi ogah dilakukan para da'i: Mendalami ilmu yang dimiliki lawan, untuk dijadikan senjata makan tuan agar takluk pada tujuannya!
Ia pun segera membuka berita-berita tentang BBF dari tabloid itu.
"Ya ampun, Na, ngapain sih susah payah ngapalin lagu begitu?" Edit berkomentar begitu melihat adiknya sedang tekun bernyanyi lagu 'Paradise' sendiri, tanpa musik. Ia masuk ke kamar Tina dalam rangka mengembalikan tabloid yang sudah dipelajarinya dan membuatnya geleng-geleng kepala itu.
"Enak tauk, Mas, lagunya!" Tina berargumen, "Gue suka sama lagu Paradise, bikin mood gue jadi bagus."
Edit tertawa kecil.
"Emangnya ngapalin lagu Paradise gitu bisa dapat pahala, terus bikin kita masuk surga? Mending ngapalin As'maul husna sekalian, ketahuan untungnya." Edit menyindir. Mencoba mengetuk pintu kesadaran sang adik.
"Yee... buat seneng-seneng aja kalee!" Tina senewen, paling nggak suka kalau mulai diceramahin.
"Ya bukan begitu, Na! Kalau seneng-seneng se-jam masih nggak pa-pa, lah kalau seharian senang-senang yaa berabe. Time is Life! You know?"
"Mas sih nggak ngelarang kamu seneng, tapi mbok ya jangan berlebihan! Coba kamu perhatiin lagi BBF ini, bukankah malah ngebikin penonton jadi bersifat konsumerisme? Lihat tokoh F4 nya! Mereka sudah dirancang tampil mewah, tidak pernah memakai kostum yang sama dua kali, bahkan disebutin di tabloid ada kostumnya yang seharga enam puluh jutaan, juga ada helm motornya yang dipakai syuting seharga seratus juta lebih..."
"Hebat kan, Mas! kereen..." potong Tina.
"Kalau baju harga segitu nggak keren yaa kebangetan!" cela Edit.
"Tapi Mas, tokoh Geum Jandi sederhana kok, bersahaja dan pantang menyerah, patut ditiru!"
"Patut ditiru?" Edit mengernyit kaget, "Kamu gimana sih? Coba lihat profil pemainnya dong!"
"Udah tauk kalee... Gyo Hye Sun itu idolaku, dia artis multitalenta, bisa nyanyi, bisa gambar, bisa nulis novel, gila keren abiss!" Tina berpromosi.
"Tapi dia suka nenggak minuman beralkohol, perhatiin dong Na! Bahkan minumnya nggak tahu batasan, makan pun begitu, masa' bisa makan delapan jam non stop! Ingat... Rasulullah berpesan makanlah ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, itu cara makan sehat!" Edit menunjuk salah satu artikel di tabloid yang memampang foto Gyoo Hye Sun.
"Udah gitu... dia terlalu gila kerja dan karir, tidur hanya sejam, bahkan takut menikah. Haduuh Tina... masa' profil yang kayak begini mau dijadiin panutan?"
Tina terdiam. Agak-agak syok memikirkan ada secercah kebenaran dalam ucapan Mas-nya itu.
"Jujur saja... Mas juga nggak suka kamu tempel poster di kamar kayak begini, mbak Nita bilang persis berhala Namrud! Pikir-pikir bener juga sih..."
"Terus Mas maunya apa?" Tina mulai ketus.
"Jangan gitu dong, Mas, sih berprinsip... Kerjakanlah segala hal sesukamu, asal memberi manfaat aja buat diri sendiri dan orang lain, boleh manfaat di dunia, atau manfaat untuk kelak di akhirat. Lah sekarang tinggal tanyain ke diri Tina sendiri... kalau saya melakukan hal ini manfaatnya apa ya buat di dunia? Trus kalau buat di akhirat apa? Kalau memikirkan hal kayak gini insya Allah kamu nggak akan berlebihan."
Pembicaraan selesai sampai di situ. Tiba-tiba Nita sudah berdiri di depan tirai kamar Tina.
"Na, kalau kamu nggak melepas poster-poster itu, mbak yang bakalan lepasin paksa sekarang juga!" ancamnya serius. Rupanya Nita terobsesi ingin meniru tindakan Nabi Ibrahim memenggal patung-patung berhala, tapi Tina nggak rela.
"Biar gue yang lepasin sendiri!" ujarnya sambil mulai berjalan ke lemari dan dinding, mempreteli poster-poster BBF itu.
Nita tertawa senang dalam hati, ia merasa telah berhasil menaklukan Tina dengan caranya. Sementara Edit hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan mbak-nya itu.
SUMBER SILAHKAN KLIK
Suara beduk yang disusul dengan lantunan merdu adzan Magrib terdengar ketika aku melangkah memasuki halaman. Setelah mengucapkan salam aku langsung masuk ke rumah. Kuletakkan ransel di punggungku ke atas sofa, lalu bergegas menuju ruang makan."Eh, Wi... pulang juga akhirnya. Ayo cepat, sudah buka nih!" Jamal dan Leni yang berebut kolak pisang buatan ibu langsung menghentikan aksi mereka saat ibu menyapaku, begitu juga dengan Kak Rita. Setelah membaca doa berbuka kuteguk habis segelas teh manis yang disodorkan ibu.
"Kakak sudah libur?" tanya Jamal sambil menyendok kolak ke piringnya.
"Sudah. Bapak mana, Bu?" tanyaku karena kulihat Bapak tidak ada di antara kami.
"Pergi sama temannya kemarin, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."
Aku memang tidak tinggal di rumah lagi. Setelah tamat SMP, aku berhasil masuk SMA unggul di kota yang mengharuskan siswanya tinggal di asrama.
Sekarang, aku sudah kelas dua SMU. Tahun lalu, aku menghabiskan Ramadhan di rumah, karena sekolah diliburkan. Tapi sekarang tidak lagi, sekolah hanya diliburkan seminggu sebelum lebaran tiba, jadi saat inilah pertama kalinya aku berbuka puasa bersama keluarga.
***
"Nggak shalat tarawih, Kak?" ujarku pada Kak Rita yang masih belum beranjak dari kursinya, aku yakin dia kekenyangan.
Kak Rita menoleh, "Wi, malam ini tarawih di rumah aja ya, bantu kakak buat kue."
"Buat kue? Besok kan bisa." Keningku berkerut.
"Besok juga. Kita harus mengejar waktu, lebaran tinggal enam hari lagi, belum satu kue-pun yang terbuat. Habisnya...hm...bapak baru kasih uang tadi siang. Kakak lihat tetangga-tetangga kita yang lain, kuenya sudah siap semua."
"Kak, salah satu cara menghidupkan malam ramadhan itu dengan shalat tarawih, bukan dengan buat kue."
"Tapi kitakan malu sama tetangga, Wi."
"Lalu sama Allah apa kita tidak malu?"
Kak Rita diam. Bingung mencari alasan.
"Sudah... sudah... kamu berangkat saja, Wi. Biar ibu yang bantuin kakakmu." Tiba-tiba ibu muncul dari dalam kamar, melerai pertengkaran kami.
"Lho, jadi ibu juga nggak tarawih?" keningku berkerut lagi.
"Kakakmu benar, kita belum satupun buat kue. Kapan lagi? Ibu tarawih di rumah saja."
Aku hanya diam. Lalu beranjak ke kamar mengambil sajadah dan mukena. Belum sanggup aku mendebat ibu, bisa-bisa nanti ibu jadi tersinggung.
"Leni... ayo ikut kakak ke mesjid." Aku menegur Leni, si bungsu. Dia kelas 3 SD.
"Wi, Leni nggak usah diajak. Dia bantu ngocok-ngocok telur."
"Iya, Kak, Leni juga lagi malas nih."
Sambil mendengus sebal, akhirnya aku melangkah keluar rumah, menuju masjid. Menyusul Jamal yang sudah berangkat dari tadi.
Ada hal istimewa yang biasanya selalu terjadi di kampungku kalau lebaran tiba. Sebenarnya bukan hal istimewa, tapi bisa dikatakan kebiasaan buruk yang terjadi sejak dahulu, sudah turun temurun, sudah menjadi tradisi.Saat lebaran adalah waktu untuk menunjukkan dan memamerkan semua kekayaan dan harta benda yang dimiliki. Para orangtua berlomba membelikan baju terbaru dan termahal untuk anak-anaknya. Saat lebaran semuanya seolah menunjukkan inilah saya.
Seminggu sebelum lebaran hampir semua warga kampung menjadi super sibuk. Halaman dan pekarangan rumah dibersihkan, kaca-kaca jendela dibuat mengkilap, kain gorden, seprai, sarung bantal, semuanya diganti dengan yang baru. Para remaja putri dan ibu-ibu lebih banyak berkutat di dapur membuat aneka jenis kue.
Kesibukan-kesibukan itu tentu saja telah menyita waktu untuk beribadah. Jika di awal Ramadhan masjid dan mushala seakan mau pecah karena banyaknya jamaah, maka di akhir Ramadhan jumlah jamaahnya bisa dihitung dengan jari.
Dan itu juga terjadi dalam keluargaku.
"Wi, dari tadi kok melamun saja. Ayo bantuin kakakmu." Lamunanku buyar seketika oleh teguran ibu.
Aku bangkit, membantu Kak Rita melepaskan semua gorden-gorden jendela.
"Mau diganti yang baru lagi ya, Kak?" tanyaku.
"Iya dong, lebaran kan tingal lima hari lagi." Kak Rita menyahut tanpa menoleh padaku.
"Tapi inikan masih bagus, Kak. Kalau dicuci pasti jadi seperti baru lagi."
"Kamu ini bagaimana, malu dong sama tetangga."
Selalu seperti itu. Malu sama tetangga. Apa-apa selalu dibandingkan dengan tetangga. Entah sudah berapa banyak gorden-gorden lama di lemari yang masih bagus tetapi tidak pernah dipakai lagi.
"Yang baru sudah dibeli?" tanyaku kemudian.
"Sudah, kemarin Bapak yang beli." Aku hanya melongo.
Begitu semua gorden sudah terlepas, Kak Rita menyuruhku membersihkan kaca jendela. Saat itulah Bapak muncul membawa dua buah kantong plastik besar di masing-masing tangannya.
Bapak meletakkan barang belanjaan di tengah ruang tamu, lalu mengeluarkannya satu per satu. Lima botol sirup yang berbeda warna, beberapa helai sarung, juga kue-kue dalam kaleng, padahal Ibu dan Kak Rita sudah banyak membuat kue dalam dua hari ini.
"Leni...!" kata Bapak kemudian, memanggil si bungsu. Yang dipanggil secepat kilat muncul dari dapur, bajunya belepotan adonan kue. Dia sedang membantu Ibu."Nih, baju baru Leni," ujarnya kemudian.
Bapak mengeluarkan dua kotak dari kantong plastik besar. Sepasang sepatu dan sandal baru. Lalu mengeluarkan dua pasang baju dari kantong yang lain dan memberikan pada Leni.
"Jamal mana?" tanya Bapak, lalu mengeluarkan bagian Jamal dari dalam kantong.
"Wah, pas sekali, Pak. Bapak benar-benar pintar memilihkan," ujar Leni sambil berlenggak-lenggok mencoba sepatu barunya.
"Ya sudah. Ayo simpan di lemarimu. Terus ini kasihkan sama abangmu." Bapak menyerahkan bagian Jamal pada Leni. Aku sudah menebak apa isinya. Sepatu, sandal, dan baju baru.
"Buat Rita, Pak?" Kak Rita ternyata iri juga melihat Leni dan Jamal yang masih SD.
Bapak merogoh dompetnya. Menyerahkan empat lembar pecahan seratus ribu pada Kak Rita yang langsung menerimanya dengan mata berbinar.
"Kamu cari sendiri. Bapak takut nanti tidak sesuai ukuran," kata Bapak. Bapak juga menyerahkan sejumlah uang yang sama padaku. Aku dan Kak Rita hanya beda dua tahun, dia sudah tamat SMU tahun kemarin. Mau kuliah tapi tidak lulus tes perguruan tinggi negeri, katanya mau diulang lagi tahun depan. Mau masuk swasta terlalu mahal.
"Dewi nggak usah beli baju, Pak. Yang lama masih bagus-bagus." Aku menolak uang pemberian Bapak. Kak Rita dan Bapak terkejut mendengar ucapanku. Hari gini.... Nggak beli baju baru buat lebaran? Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
"Tapi kamu harus beli, Wi." Bapak tidak terima.
"Tapi baju Dewi sudah banyak, Pak."
"Ini bukan masalah bajumu masih banyak, Wi, tapi..." Bapak menggantung ucapannya. Aku tahu lanjutannya. Bapak pasti segan sama orang-orang. Malu kalau nanti ada yang bilang bapak tidak sanggup membelikanku baju baru.
Selama ini warga di kampungku memang telah menyalahartikan makna Idul Fitri. Bagi bapak, ibu, kakak, dan kebanyakan warga lainnya, Idul Fitri adalah ajang pamer kekayaan.
Besok lebaran tiba. Hari yang dinanti oleh semua orang. Ada yang senang karena siang tidak harus menahan lapar dan haus lagi. Ada juga yang sedih karena bulan amalan dilipatgandakan pahalanya akan pergi.Andai semua bulan adalah Ramadhan, sungguh menyenangkan. Betapa tidak? Rumahku kelihatan sangat indah. Halaman tampak sangat bersih. Kaca-kaca licin mengkilat dengan kain gorden yang masih baru. Aneka jenis kue sudah berderet rapi dalam lemari, toko kue sepertinya kalah. Tapi Ibu dan Kak Rita selalu marah-marah saat Jamal dan Leni diam-diam mengambil kue itu.
"Nanti saja dimakannya, itu untuk tamu, kalau habis bagaimana?" begitu selalu alasan mereka.
Jadi Ibu dan Kak Rita capek-capek buat kue itu tidak boleh dimakan? Haruskah tamu yang pertama kali harus mencicipinya? Lagipula tidak mungkin Jamal dan Leni sanggup menghabiskan kue sebanyak itu.
"Bu, Bapak kok belum pulang. Kita kan belum bayar zakat?" kataku pada Ibu. Dua hari yang lalu Bapak pergi ke rumah Nenek di kampung sebelah, sekitar empat kilometer. Katanya hanya sehari, mengantarkan Nenek belanjaan dan juga mengantarkan beberapa kue. Tapi sampai sekarang Bapak belum juga kembali.
"Ibu juga tidak tahu, Wi," jawab Ibu, sambil melanjutkan pekerjaannya. Kami sedang membat ketupat untuk santapan besok sepulang shalat Id di lapangan.
Tok...tok...tok...
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Assalamualaikum..." terdengar seseorang mengucapkan salam. Aku segera membukakan pintu.
"Nenek...!" aku langsung memeluk Nenek. Ternyata Bapak berhasil membujuk Nenek untuk berlebaran bersama kami. Tapi kok Nenek datang sendiri? Mana Bapak? Kuajak Nenek masuk, lalu kemudian memanggil Ibu.
"Bapakmu mana, Wi?" tanya Nenek begitu duduk di atas sofa baru.
Aku kaget, begitu juga dengan Ibu dan Kak Rita yang keluar kamar saat mendengar Nenek datang.
"Bukannya Bapak ke rumah Nenek?" Kak Rita yang menjawab pertanyaan itu.
Sekarang gantian Nenek yang memandang kami dengan heran. Kami semua mulai cemas. Apa yang terjadi dengan Bapak? Ke mana dia?Suara beduk menandakan waktu berbuka tiba terdengar dari masjid. Penuh tanda tanya kami beranjak meninggalkan ruang tamu, menuju meja makan. Tak ada yang bersuara, semua cemas memikirkan Bapak.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar...
Lailahailallah huwallahu Akbar...
Allahu Akbar walillahilhamd...
Suara takbir mulai bergema. Angin Idul Fitri telah menyapa. Syawal datang menyambut. Lebaran sudah di depan mata.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan. Bergegas Ibu segera membukakan pintu. Pasti ibu berharap, jika itu bukan Bapak, setidaknya orang yang membawakan kabar tentang Bapak.
"Maaf, apa betul ini rumahnya Pak Umar?"
"Be...betul. Ada apa dengan... suami saya, Pak?" terbata Ibu menjawab. Aku menuju pintu depan, menyusul ibu. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk langsung hinggap di kepala. Hanya dua hal yang sekarang bermain di kepalaku. Penjara dan rumah sakit.
Tiga orang anggota polisi mencari Bapak. Ada apa?
"Kami dari kepolisian ditugaskan menangkap Pak Umar, karena dia salah seorang tersangka yang ikut melakukan perampokan toko emas seminggu yang lalu."
Tubuh Ibu tiba-tiba jatuh. Aku segera menyambutnya.
Bapak? Merampok toko emas? Seminggu lalu?
"Bapak mana, Bu?" tanyaku setelah kemudian kulihat tidak ada Bapak di antara kami.
"Kemarin pergi sama temannya, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."
Aku ingat, pertanyaan itu kulontarkan pada ibu ketika pertama kali sampai di rumah. Apakah saat itu Bapak melakukannya?
Tiba-tiba aku merasa sangat bodoh sekali. Mengapa aku tidak berpikir dari mana Bapak mendapatkan uang sedemikian banyak untuk membelikan kami baju dan sepatu baru? Kue-kue, gorden, juga sofa baru.
Dari mana semua uang itu? Kalau dari gaji Bapak yang hanya seorang pegawai negeri aku yakin tidak mencukupi, walaupun itu sudah ditambah dengan tunjangan hari raya.
Ah...Bapak. Mengapa dengan cara ini dia menyambut lebaran? Mengapa dengan cara ini dia menunjukkan pada tetangga kalau dia mampu? Apakah makna Idul Fitri di hati bapak?
Air mata mengaliar di pipiku. Aku ingat, kami belum bayar zakat.
www.annida-online.com
Nggak kerasa bulan Ramadhan udah berlalu lagi. Sedih rasanya berpisah dengan bulan mulia ini. Sebab, dalam bulan Ramadhan, begitu banyak keutamaannya. Entah kenapa seluruh umat Islam di dunia pasti merasakan keunikan bulan ini. Unik yang bagaimana? Unik karena kita kudu puasa di siang hari. Sementara malamnya, kita sholat malam, kemudian bangun lebih awal untuk sahur dan beribadah lagi. Namun demikian, kegiatan sehari-hari tetap kudu berjalan, walau kadang kurang optimal karena ngantuk, lemes dan susah konsentrasi. Sebenarnya semua kegiatan tersebut biasa aja, dan bukan merupakan hal yang aneh bagi orang Islam. Cuma karena kita jarang melakukannya, kegiatan tersebut terasa berbeda di bulan Ramadhan.
Datang dan perginya bulan Ramadhan pasti akan terjadi sepanjang masih ada kehidupan di dunia ini. Nah, karena sifatnya sudah pasti terjadi, mestinya kita yang udah cukup sering berpuasa Ramadhan. Tentunya udah mahir banget. Sama seperti naik sepeda, pada mulanya terasa sulit. Sering kali kita harus jatuh berkali-kali. Kadang malah sampai berdarah-darah segala. Namun kemudian perlahan kita mulai bisa. Terus berlatih sampai akhirnya jadi mahir banget. Nggak cuma jalan biasa aja yang bisa dilewatin. Mulai dari gunung sampai trek yang biasanya dipake buat skateboard pun di jabanin. Yang semula naik sepeda biasa aja, karena berlatih terus akhirnya kita bisa, lepas stang, jumping, flip 360 derajat dll.
Demikian juga dengan puasa, kalo kita dengerin ustadz di masjid ceramah selama bulan puasa, sering kali mereka menjelaskan kalo bulan puasa adalah bulan latihan bagi umat muslim untuk menahan hawa nafsunya. Kalo kita udah terbiasa berlatih, harusnya kita jago banget dalam berpuasa ini. Semula cuma puasa setengah hari, karena berlatih terus, mestinya tidak akan sulit untuk puasa sehari penuh. Bagi kamu yang biasanya puasa bolong-bolong, jadi bisa puasa full selama 1 bulan tanpa jeda.
Setiap latihan pasti ada tujuannya. Kalo berpuasa dianggap sebagai latihan, terus apa dong tujuannya? Sebenernya tujuannya sudah diungkap oleh Allah Swt. di dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 183 (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat ini cukup populer terutama di bulan Ramadhan. Maksud dari ayat ini adalah pernyataan Rabb manusia yang menginginkan hamba-hambaNya memperoleh derajat yang mulia yaitu menjadi orang yang bertakwa, dengan jalan berpuasa. Secara umum yang dimaksud dengan takwa adalah melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi setiap laranganNya. Dan memang seperti itu yang biasanya terjadi di bulan puasa.
Contoh sederhana, wanita pada rame-rame menjaga auratnya. Baik di tivi sampai di tempat-tempat publik, seperti warung pun banyak yang mengubah jadwal operasional mereka. Menyesuaikan dengan waktu berbuka dan sebagainya. Nah, tersisa sebuah pertanyaan besar setelah kita berpuasa Ramadhan selama 1 bulan penuh: tercapaikah tujuan berpuasa seperti yang di tunjukkan al-Quran? Yuk kita evaluasi diri kita.
Bentuk takwa
Sebelum kita bahas dengan luas (yakni hasil dari panjang dikali lebar, lho kok jadi kayak pelajaran matematika?), kita harus paham terlebih dahulu bagaimana sih bentuk-bentuk takwa yang diajarkan dalam bulan Ramadhan. Tentu agar nantinya kita bisa menggunakan skill ketakwaan yang sudah kita latih selama sebulan penuh, di 11 bulan lainnya.
Pertama, orang yang berpuasa akan meninggalkan setiap yang Allah Swt. larang. Walaupun sebenarnya larangan tersebut lebih berat. Misalnya makan, minum dan menahan berhubungan dengan suami/istri (bagi yang sudah punya) di siang hari pada saat Ramadhan. Semua yang dilarangan tersebut tidak haram dalam Islam, bahkan sesuai dengan fitrah manusia. Namun selama berpuasa (di siang hari) Ramadhan kita harus meninggalkannya. Beda ceritanya dengan larangan membunuh atau mencuri, yang secara alami, manusia tidak menyukainya, jadi lebih mudah untuk meninggalkannya. Karena itulah larangan ini memiliki derajat yang lebih tinggi, sehingga balasannya pun lebih besar. Sebagai referensi coba kita ingat kembali cerita Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya sendiri, yakni Ismail (Nabi Ismail). Ini semua dilakukan dalam rangka taqorrub atau mendekatkan diri pada Allah dan meraih pahala dariNya. Inilah bentuk takwa pertama.
Kedua, selama berpuasa kita sebenarnya bebas melakukan kesenangan yang kita inginkan. Mau minum diem-diem, atau makan sembunyi-sembunyi, bisa kok kalo mau. Beda ceritanya kalo dijagain sama pengawas, misal ada polisi di jalan. Biasanya sih pada nurut kalo ada polisinya. Lain halnya juga kalo kita tercegah untuk melakukan hal-hal yang dilarang tersebut, misal dimasukin ke sel/dikurung sehingga nggak bisa makan, minum dengan bebas.
Orang yang berpuasa sebenarnya mampu untuk melakukan kesenangan-kesenangan duniawi yang ada. Namun dia mengetahui bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi diriNya. Jadi meski tidak ada polisi dan juga tidak ada penghalang, orang yang berpuasa memilih untuk tidak melanggar perintah Rabbnya. Sebab, ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt. Inilah bentuk takwa yang kedua.
Ketiga, selama kita berpuasa, terasa banget bagaimana kita menjadi lebih bersemangat melakukan semua ibadah, kenapa ya? Ya karena kita tahu begitu besar balasan yang akan kita terima. Sama seperti seorang pekerja yang disuruh lembur sama majikannya dan selama lembur pekerja tersebut memperoleh bayaran dua kali lipat dari biasanya. Tentunya karyawan itu akan mengharapkan setiap hari adalah hari lembur. Sudah pasti bersemangat menyelesaikan pekerjaannya dan semangat itulah yang menghantarkannya menuju penyelesaian pekerjaan dengan sempurna.
Bagi orang yang berpuasa, mereka akan bersemangat melakukan ibadah. Mereka tahu besarnya pahala yang akan diperoleh. Sehingga akhirnya menghantarkan mereka tidak hanya melakukannya dengan semangat saja namun juga melakukan ibadah dengan sempurna. Sempurnanya amalan dikarenakan semangat dalam melakukannya, merupakan jalan menggapai takwa.
Minimal ketiga bentuk takwa di atas adalah skill ketakwaan yang telah kita latih selama bulan Ramadhan. Lalu apa keuntungan kita dengan memiliki ketiga skill ketakwaan tersebut? Ngaruh emang dalam kehidupan kita? Jelas ngaruh dong, paling tidak ada 4 keuntungan yang kita peroleh:
Pertama, dapat mengendalikan jiwa. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Setiap dari kita adalah pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan. Karena Allah Swt. akan meminta pertanggung jawaban manusia sebagai pemimpin (sesuai dengan apa yang dipimpinnya), maka seorang muslim harus mampu mengendalikan jiwanya. Sebab, kalo dirinya sendiri saja nggak bisa mengendalikan/mengatur jiwanya, bagaimana mungkin dia bisa memimpin/mengatur orang lain?
Selama bulan Ramadhan kita dilatih untuk mengendalikan syahwat dan kesenangan dunia, kenapa? Karena rasa kenyang dengan banyaknya makan dan minum, itu semua biasanya akan membuat seseorang lupa diri, kufur terhadap nikmat, dan menjadi lalai. Puasa mendidik kita untuk tidak lalai dan kufur terhadap nikmat Allah ‘azza wa jalla, yang pada akhirnya akan menjadikan setiap orang mampu mengendalikan jiwanya.
Kedua, dengan terkendalinya jiwa, maka hati akan menjadi sibuk memikirkan hal-hal baik dan sibuk mengingat Allah Swt. Apabila seseorang terlalu tersibukkan dengan kesenangan duniawi dan terbuai dengan makanan yang dia lahap, hati pun akan menjadi lalai dari memikirkan hal-hal yang baik dan lalai dari mengingat Allah Swt. Oleh karena itu, apabila hati tidak tersibukkan dengan kesenangan duniawi, juga tidak disibukkan dengan makan dan minum ketika berpuasa, hati pun akan bercahaya, akan semakin lembut, hati pun tidak mengeras dan akan semakin mudah untuk tafakkur (merenung) serta berdzikir pada Allah.
Ketiga, dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi, bagi orang yang berkecukupan akan semakin tahu bahwa dirinya telah diberikan nikmat begitu banyak dibanding orang-orang fakir, miskin dan yatim piatu yang sering merasakan rasa lapar. Dalam rangka mensyukuri nikmat ini, orang-orang kaya pun dianjurkan untuk gemar berbagi dengan mereka yang tidak mampu. Fungsi sosial individu biasanya dapat dilakukan dengan mudah selama bulan Ramadhan. Namun kewajiban individu ini memiliki keterbatasan. So, supaya fungsi sosial Islam dapat terlaksana dengan sempurna, tidak bisa tidak, diperlukan peran aktif negara dalam pelaksanaannya.
Keempat, dengan berpuasa akan mempersempit jalannya darah. Sedangkan setan berada pada jalan darahnya manusia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia pada tempat mengalirnya darah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi puasa dapat ‘membelenggu’ setan yang seringkali memberikan was-was. Puasa pun dapat menekan syahwat dan rasa marah. Oleh karena itu, Nabi saw. menjadikan puasa sebagai salah satu obat mujarab bagi orang yang memiliki keinginan untuk menikah namun belum kesampaian.
Jadi yang terbaik
Ketika keluar bulan Ramadhan seharusnya kita menjadi lebih baik dibanding dengan bulan sebelumnya. Sebab, kita udah ditempa untuk meninggalkan berbagai macam maksiat. Orang yang dulu malas shalat 5 waktu, seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan Ramadhan. Shalat Jama’ah bagi kaum pria, harusnya dapat rutin dilakukan di masjid, sebagaimana rajin dilakukan ketika bulan Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak wanita yang berusaha mengenakan kerudung dan jilbab, maka di luar bulan Ramadhan seharusnya hal ini tetap dijaga.
Rasulullah saw. bersabda, “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (terus menerus) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah)
Selain itu para ulama juga seringkali mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Sobat GI, untuk menjadi lebih baik di 11 bulan ke depan, kita kudu mengerti skill ketakwaan yang telah kita latih selama bulan Ramadhan dan udah saya jelasin di awal ya. Selain ngerti, juga kudu bisa menggunakannya dalam kehidupan kita hingga betemu dengan Ramadhan lagi. Jangan sampai kita sia-siakan hasil latihan kita selama 1 bulan tanpa bekas. Sebab, itu merupakan satu tanda kerugian amalan seseorang, seperti firman Allah Swt. (yang artinya), “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (QS asy-Syuraa [42]: 20)
Ibnu ‘Abbas menjelaskan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, amalan shalat atau amalan shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari keuntungan dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi.”
Semoga Allah Swt. menerima setiap amalan kita di bulan Ramadhan dan menjadikan kita mampu menggunakan berbagai skill ketakwaan yang telah kita latih di bulan Ramadhan selama 1 tahun penuh hingga bertemu Ramadhan kembali. Semoga Allah memberikan kita petunjuk, ketakwaan, menjauhkan kita dari hal-hal haram dan memberikan kita umur untuk bertemu Ramadhan lagi. Amiiin. Menjadi baik saja belum cukup jika kita mampu menjadi yang trebaik. Yuk, jadi lebih baik lagi! [aribowo: aribowo@gaulislam.com]