Di suatu malam yang sepi, dikejauhan terlihat sesosok tubuh berambut sepunggung. Tubuhnya tinggi semampai, ketika berjalan laksana pragawati. Sepatu berhak tinggi terpasang manis di telapak kakinya. Dipadu dengan pakaian super minim, tampak sangat menggoda bagi sebagian orang. Ketika aku melintas di depannya terdengar suara,”mas-mas godain kita dong!.” Tidak!! Tenyata yang kukira sesosok perempuan itu adalah seorang banci.
Sobat, mungkin hampir seperti itulah perasaan kita ketika mengalami kejadian yang sama. Ketika kalian mendengar kata banci atau waria, pasti kalian langsung teringat dengan sesosok lelaki yang berpenampilan kemayu yang berdandan layaknya perempuan. Memang seperti itulah ciri khas yang melekat pada diri seorang banci. Sobat, tahu gak sih, kalo di salah satu televisi swasta di Indonesia ada acara yang bernama “Be A Man”? Dengan slogan ”dari kaleng jadi baja” acara ini cukup mudah diingat keberadaanya. Dalam acara ini, sejumlah waria dari berbagai latar belakang dan pekerjaan dikumpulin jadi satu untuk dilatih secara militer dengan tujuan agar mereka dapat kembali menjadi laki-laki normal. Siapa yang paling akhir bertahan, dia lah yang akan menjadi pemenang. Begitulah kira-kira tujuan yang bisa ditangkap dari acara ini.
Mungkin bagi sebagian orang acara ini hanya sebatas hiburan. Tapi jika kita lebih teliti dalam melihat masalah ini, sepertinya ada udang di balik batu dalam acara ini. Masalah apakah itu? Dan juga apa bener jika mereka dilatih dengan cara militer para waria itu akan kembali menjadi seorang laki-laki normal? Gimana sih Islam ngelihat masalah banci? Dan gimana seharusnya kita bersikap terhadap masalah ini. So, stay with us!!
Mengkomersilkan Banci
Kalau kita melihat acara reality show ini sekilas memang menunjukkan bahwa para pria berjiwa wanita ini ditujukan agar dapat lebih kelihatan “cowok”nya. Selain itu, acara ini terlihat memanfaatkan keberadaan banci untuk “dijual” sebagai komoditas bisnis hiburan di tanah air. Sebab di tengah-tengah maraknya acara yang bergenre cinta-cintaan atau paling banter horor-hororan, acara ini terlihat sebagai suatu alternatif tontonan. Acara ini pun mendapat perhatian khusus dari para penikmat acara TV. Bener aja, acara yang pada awal penayangannya sempat mengalami kendala itu sekarang telah memasuki edisi kedua.
Sebelum adanya acara ini pun, banyak acara-acara lain yang menampilkan seorang banci atau paling enggak peran banci di dalam sajian tayangannya. Sampai-sampai kalau gak ada bancinya, acara itu rattingnya bakal kalah bersaing. Karena semakin maraknya banci-bancian di TV, KPI(Komisi Penyiaran Indonesia) sebagai lembaga yang bertugas mengontrol jalannya segala bentuk penyiaran akhirnya sempat melarang adanya figur banci dalam acara TV. Tapi gak terlalu lama berselang, acara-acara yang mengandung unsur banci mulai bermunculan kembali. Meskipun ada teguran dari KPI, tapi toh itu hanya dianggap sebagai angin lalu. Nah semakin jelas beberapa fakta menunjukkan kalau keberadaan banci itu dikomersilkan, iya kan?
Ajang Pelegalisasian Banci
Sobat, disamping dimanfaatkan sebagai komoditas bisnis hiburan, ternyata keberadaan acara ini memiliki maksud lain. Maksud lain itu adalah sebagai alat untuk menyebarkan ide liberalisme. Dengan cara melegalisasikan keberadaan banci di dunia ini. Pelegalisasian banci ini jelas akan mengancam masa depan umat manusia. Duh segitunya! Tapi beneran lho, sekarang coba deh kalian pikir kalau para cowok yang ada di seluruh dunia jadi banci semua, gimana bisa keturunan manusia bakal lahir ke dunia!?
Tujuan acara ini untuk membuat para banci agar kembali jadi laki-laki normal dengan latihan militer pun perlu dipertanyakan lagi, apa bisa? Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa jika banci diperlakukan secara keras maka jiwanya pun akan ikutan jadi tegas. Ok deh, mungkin waktu si banci ikutan acara itu dia terlihat mengalami sedikit perubahan sikap. Tapi apakah selepas dari acara itu keadaan si banci bisa berubah 180 derajat jadi laki-laki tulen? Gak ada yang berani jamin. Sebab mereka memilih menjadi waria atau atau laki-laki normal itu merupakan masalah pemikiran dasar mereka. Meskipun fisik mereka ditempa layaknya tentara, tapi yang mempengaruhi persepsi seseorang itu adalah pemikiran yang dimilikinya.
Islam See It
Islam sangat tegas dalam menyikapi masalah banci ini. Dalam Islam, banci adalah sebuah perbuatan yang bertentangan dengan aqidah Islam. Sebab manusia diciptakan hanya dalam dua jenis, yaitu laki-laki atau perempuan secara berpasang-pasangan. Seperti dalam ayat berikut, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”(QS An-Nisa ayat:1) Selain itu, Rasulullah juga sangat membenci perbuatan menjadi seorang banci, seperti dalam hadist beliau “Rasulullah melaknat (mengutuk) laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, beliau bersabda : Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian” (HR. Bukhari). Nah loe, siapa yang mau dibenci sama Rasulullah? Pastinya gak bakalan dapat hujjah di akhirat kelak.
Sebagai seorang muslim, kita seharusnya hanya menjadikan Islam sebagai aqidah kita. Jadikan aqidah Islam kita sebagai landasan hidup kita. Kita tidak boleh meniru aqidah lain yang jelas-jelas kufur. Banci merupakan perbuatan yang telah keluar dari aqidah Islam kita. Jadi gak ada deh yang namanya kompromi dengan yang liberalisme yang menjerumuskan kita dalam jurang-jurang penyesatan yang salah satunya melalui perbuatan banci. Sebagai seorang muslim kita harus tetap istiqomah dalam menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Banci kaleng tetap akan menjadi kaleng jika tidak dirubah melalui perubahan aqidah yang benar. (AC)
oleh: Saifah
Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, seperti meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh karena matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku adalah atas kehendak-Mu. Atas apa yang saat ini kualami, tiada yang dapat kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jika memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.
Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak dapat menentukan apakah ia menerima atau tidak permintaan seorang akhwat yang kini lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah manis dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu.
Sepekan lalu ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi menyampaikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keanehan bagi lelaki yang baru menginjak usia 23 itu.
“Sahabat kami, sudah lama menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun setelah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat seperti amplop untuk melamar kerja.
“Jika ada yang belum jelas, silakan langsung hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.
Fikri tak dapat berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini baru pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan permintaan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang membuat tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…
Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak dapat memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya basah karena berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut basah pula.
Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu setelah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali karena akibatnya adalah ia tak dapat tidur, pikirannya jadi terbayang sosok manis dalam foto itu, ditambah informasi dalam biodata tersebut yang aduhai menunjukkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.
Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang adalah kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah sampai ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan seperti orangtuanya. Terbukti doa mereka mampu membuat Fikri masih bisa belajar sampai S1 dengan bantuan beasiswa.
Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa belajar agama di sana, agar suasananya bisa terasa dekat dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.
Gundahnya terasa menggunung saat membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat bernama Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling lama dua pekan setelah Akhy menerima biodata ana. Jazakallahu khairan.
Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di kegiatan kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan memiliki sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya adalah membuat sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau daerah konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang membuat Fikri semakin berdebar ketika membacanya, adalah Sabila sudah mengenal Fikri sejak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?
Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.
“Ukhti….Sabila?”
“Na’am, siapa ini?”
“Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak dapat ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar suara tegas Sabila justru membuat tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas.
“Oh, iya Akhi..ada apa?”
Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang datang tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat seperti itu apakah begitu usilnya?
“Halo...?” suara imut namun tegas itu menyadarkan Fikri.
“Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini baru pertama kalinya ia berhubungan dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan.
“Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung.
“Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” suara itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup membuat Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu tentang hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya.
“Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?”
“Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”
Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” diam sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?”
Di seberang telepon, sebenarnya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.
“Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari informasi tentang Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.”
“Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?”
“Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”
Terlalu tak dapat mencerna dengan sempurna, Fikri langsung mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia baru sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya lalu berbicara lagi.
“Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri malu sendiri karena ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?
Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan karena menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar.
Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara menerima atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya.
***
Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris membuat hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak langsung telah menjadi perantaranya.
“Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info tentang antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan agar dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.”
“Lalu, dia langsung menerima usul itu?”
“Tidak. Dia juga perempuan biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, sebab sudah banyak calon yang ditawarkan tapi tampaknya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memberikan sengatan listrik biar antum melek.”
Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk menerima tawaran pernikahan itu namun sebuah kabar gembira menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya sejak masih Aliyah.
Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium wangi tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk belajar di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.
“Aku bingung Mas harus bagaimana…”
Mas Bahri menepuk bahu Fikri, “Sudah istikharah?”
“Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak enak sama Sabila…”
Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.”
***
“Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan sebenarnya ana ingin kita bisa menikah setelah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, sebab Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”
Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama seperti biasa. Namun yang lebih ia dengar saat ini adalah justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.
“Mbak Ukhti Sabila….?”
“Berapa lama?”
“Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak
pulang lagi karena ana pengen juga langsung mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….”
“Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, karena ana gak tahu sampai di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”
Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata
janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….”
“Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam….”
Kembali lemas, Fikri hanya terdiam menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak lama lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah.
Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, karena aku akan selalu menunggumu entah kapan kau datang….”
Fikri tak dapat memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!
3 April 2010
“Mencintaimu tanpa batas waktu….”
oleh: Akhiril Fajri
Penahkah kita menyadari, bahwa sebagai manusia secara fitrah kita adalah makhluk yang lemah, serba kurang, serba terbatas? Karenanya, secara fitri pula kita membutuhkan sesuatu yang mampu memenuhi segala kekurangan kita itu.
Dan secara rasional, tempat kita memohon tentulah bukanlah pada makhluk yang memiliki sifat yang sama: lemah, kurang, serba terbatas. Karenanya betapa bodoh mereka yang memohon pada hewan, api, matahari, patung-patung, atau sesama manusia. Kita memohon pada Rabb yang tidak terbatas, yang maha segalanya. Dialah Allah SWT. Rabb sesungguhnya.
Betapa beruntungnya siapa saja yang menjadi muslim. Sebab, mereka telah menemukan Rabb yang sangat senang mendengarkan dan mengabulkan permintaan. Rabb kita bukanlah “dewa” yang tuli, yang budek atas permintaan penyembahnya atau penguasa jagad yang angkuh, yang gemar mengkadali permohonan para pengikutnya. Pun, bukan zat yang haus darah, yang puas atas kebodohan pemujanya, lantaran memberi tumbal untuk setiap keinginan. Bukan, Rabb kita bukanlah tuhan murahan seperti itu. Rabb yang diagungkan umat Islam adalah Rabb yang pemurah dan maha penyayang. Saking pemurahnya, hewan melata pun diberi-Nya rizki. “Tiada seekor hewan melata pun dimuka bumi, melainkan ditanggung Allah rizkinya.” (QS Hud:6)
Maka, apa yang menghalangi kita untuk mengungkapkan kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan kita pada-Nya? Mengapa kita sungkan menengadahkan tangan, meminta dan berdoa pada Allah SWT? Mintalah kepada Allah, karena Allah senang jika diminta.”
Berdoa adalah permintaan seorang hamba kepada rabb-Nya. Selama tidak menyalahi hukum dan aturan-Nya, apa saja bisa kita minta. Keselamatan, ilmu yang bermanfaat, harta yang barakah, ampunan dosa, atau karier. Lewat doa, kita curhat kepada Allah SWT, mengadukan keterbatasan dan kelemahan kita menghadapi hidup yang kian keras.
Jika begitu, berarti doa adalah tanda mereka yang putus asa? Boleh-boleh saja Karl Marx berkata demikian. Toh, ia sendiri tak bisa mungkir kalau hidup manusia penuh ketergantungan. Pada orang lain, alam semesta, dan tentu saja pada Rabb-nya. Dengan tidak berdoa, berarti kita mengelabui kelemahan diri. Berjalan mendongakkan kepala. Padahal kaki kita terseok-seok. Allah SWT murka pada orang demikian,”Siapa yang tidak berdoa kepada Allah, niscaya ia akan murka kepadanya.” (HR. At-tirmidzi)
Dengan berdoa, berarti kita mengakui kelemahan diri di hadapan ilahi, pemilik jagad semesta ini. Hanya manusia yang sadar bahwa ia makhluk yang lemah yang mau memohon bantuan penciptanya. Mereka akan mudah mengangkat tangan tinggi-tinggi kehadirat Allah, berdoa dengan wajah memelas dan harap-harap cemas. Air mata mereka mengalir membasahi pipi dan bercucuran ke bumi tanda pasrah pada keputusan Rabb mereka.
Namun, kenyataannya tak banyak manusia seperti itu. Kebanyakan manusia mengklaim bahwa kekuatannya tak terbatas, dan bahwa tak ada yang tak mungkin bagi dirinya. Lalu, seperti Qarun-Qarun baru, mereka dengan congkak berkata,”Aku memperoleh semua (harta benda) ini berkat ilmu pengetahuanku sendiri.” Bergelimang dalam kemewahan dunia telah membutakan mata hatinya. Hingga lupa pada Allah SWT.”Tidakkah ia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelum mereka yang lebih kuat dan lebih banyak mengumpulkan (harta)?” (QS. Al-qashash: 78). Dan Qarun pun berakhir dengan tragis, ditelan bumi, lantaran Allah SWT. murka padanya.
Maka, janganlah bosan berdoa. Selama apa yang kita minta dan tata cara memintanya tidak menyalahi aturan-Nya. Insya Allah akan terkabul. Jika belum, bersabarlah, mungkin belum saatnya. Dan, bila tidak sesuai dengan keinginan, kita pun tak usah khawatir. Percayalah, Dia pasti menyediakan alternatif lain yang terbaik buat kita. bukankah Allah SWT. maha tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya? Lagi pula, doa adalah ibadah. Karenanya, kita takkan merugi. Sekecil apapun permintaan kita pada Allah SWT, akan diganjar pahala. Jadi, jangan pernah bosan untuk berdoa. Wallahua’lam bi as-showab.