Di Negeri Kapitalis, Kutanggalkan Ideologi Sosialisku
Aku tak pernah menyangkal, bahkan aku tak bisa mengelak dari kenyataan hidupku. Aku memang cucu seorang kumunis, tapi aku bukan sampah!
Awal perkenalanku dengan ide Sosialisme dimulai ketika aku menerima ejekan dan hinaan orang pada keluargaku. Aku tak mengerti, mengapa mereka selalu mengejek? Apa yang salah dari kami? Memang kakekku eks anggota PKI, tapi apa hubungannya dengan kami? Mengapa kami jadi warga negara kelas dua? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggangguku.
Kebencian dan kenyataan pahit yang kami hadapi, membuatku mulai tegar. Aku penasaran, apa sih yang membuat orang-orang benci pada PKI? Meskipun kakekku masih di tempat pengasingannya di Nusakambangan, tapi nenek masih setia merawat barang-barang kakek, termasuk buku-bukunya. Buku-buku itulah yang mulai mendekatkanku pada Marx, Engels, hingga Rosa Luxemburg. Dari Che Guevara, Lenin, Trotsky, hingga Bakunin. Hmm.. aku mulai tahu, ternyata yang orang-orang benci itu adalah sesuatu yang luar biasa!
Keakrabanku dengan buku-buku ‘warisan’ itu semakin nyata, bahkan menggila. Hingga pada suatu hari ketika aku duduk di bangku SMP, guru PMP? memergokiku saat membaca The History of the Russian Revolution vol. 3 karya Trotsky. Aku dan seorang kawan yang sekarang menjadi kru majalah ini pun pernah kena operasi. Berbeda dengan siswa-siswi yang lain yang terjaring operasi karena roknya yang kependekan, tidak pakai ikat pinggang, ketahuan bawa rokok di tasnya, dan lain-lain, aku dan temanku itu kena operasi karena di tasku ada sebuah artikel yang sengaja kami buat untuk mading, yang berjudul “Pancasila, Ideologi Plagiator!”.
Pergi ke Inggris
Pertengahan tahun 2000, ayahku yang mengabdi di World Bank ‘menyeretku’ untuk melanjutkan sekolah di sebuah universitas di Inggris. Aku jelas menolak. Karena aku tahu, niat ayahku mengirimku ke negeri super-kapitalis tersebut adalah untuk memisahkanku dengan pemikiranku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Ketergantunganku pada orang tua sulit untuk dihilangkan saat itu. Namun aku juga tak tahan melihat tetes demi tetes air mata yang mengalir di pipi ibuku saat aku dan ayah saling menghujat.
Awal September, akhirnya aku berangkat juga ke negerinya Lady Di. Satu bulan aku tinggal di sana, kebencianku pada Kapitalisme makin memuncak. Aku menyaksikan para pemuda yang dibina dalam kebersamaan di bawah naungan hedonisme, permisif dan serba boleh. Bahkan seorang wanita pelajar asal Indonesia, yang saat itu jadi pacarku pun ikut menikmati pesta kebobrokan itu. Rasa marah, kesal dan gelisah atas fakta yang kulihat memenuhi pikiranku. Berbagai buku kiri yang sempat kubawa, yang kini memenuhi setiap sudut kamar aku buka.
Hatiku milai gelisah. Aku harus mencari jawaban atas gundahku. Sambil ku buka buku-buku itu, aku berpikir…berpikir dan terus berpikir. Tapi sayang, buku-buku itu tak bisa menjawabnya. Demikian juga dengan orang-orang kiri underground di Inggris. Mereka cuma bungkam, dan geleng kepala. Sampai akhirnya, aku teringat sebuah kalimat yang meluncur dari bibir mantan partnerku di saat-saat akhir diskusi di Blok-M. “Gue bakal tunggu, sampai kapan lo bakal bertahan dengan ego lo? Dan gue juga bakal tunggu, kapan lo bakal buka al-Quran?”
Back to Islam
Sepulang dari kampus, kulangkahkan kakiku menuju sebuah Islamic Centre di London. Bukan untuk sholat atau mengaji, karena aku nggak bisa. Kupinjam sebuah terjemah al-Quran. Setelah beberapa ayat kubaca, aku justru tambah bingung. Aku tak pernah menemui sebuah buku yang begitu sulit untuk dipahami, tapi dengan al-Quran, aku menyerah. Dalam keadaan terpojok dan aku harus menemukan jawaban, akhirnya kucoba mengontak mantan partnerku via SLI. Setelah kuutarakan masalahku, dia malah tertawa sambil berkata, “bingung lo sama ama gue dulu!” dia juga menyuruhku untuk menemui seorang ustadz yang bernama Dr. Imran Waheed di London yang dikemudian hari kuketahui bahwa dia adalah seorang juru bicara sebuah partai politik Islam internasional.
Kucoba untuk mencari orang itu. Tapi sayang, aku tidak tahu di mana harus mencarinya. Sampai akhirnya di Oktober 2003, aku membaca sebuah famplet sebuah konfrensi Islam yang bertema, British or Muslim, yang di situ tercantum nama Imran Waheed. Dan benar saja, saat aku menemuinya di acara tersebut, dia sangat ramah. Bahkan setelah aku mengutarakan maksudku, dia begitu fokus mendengarkannya dan memberiku kesempatan untuk berbicara dengannya lebih luas beberapa hari kemudian.
Subh?nallah, kata itu meluncur spontan setelah aku berdiskusi dengan Imran waheed. Aku tak menyangka, Islam yang selama ini kupahami sebagai candu karena posisinya yang sama dengan agama lain, ternyata lebih hebat. Bahkan, di ‘tangan’ Imran Waheed pula aku menyerah. Argumentasi yang aku bangun dan kuutarakan, semuanya mentah. Bahkan argumentasinya bukan argumentasi murahan ustadz-ustadz dan pemikir Islam di Indonesia yang pernah kutemui. Aku pusing. Kini, setelah argumentasiku terbantahkan, aku tinggal dihadapkan pada dua buah pilihan yang harus kupilih, mengakui Allah, Muhammad as His messenger dan Islam atau kafir, surga atau neraka, mati terhormat atau jadi keparat. Dan aku, bukanlah orang yang mentahbiskan kebenaran di atas pendapatku sendiri. Aku kini menyerah kalah di hadapan Islam dan argumentasi yang dibangun di atasnya, dan kini aku siap untuk berpaling pada Islam.
November 2003, aku menyatakan keislamanku dengan membuang jauh-jauh sifat kiriku. Dan kini, memohon pada Allah untuk menjagaku dan mengistiqomahkanku dijalan-Nya. Aku bertaubat pada-Mu ya Allah. Ya Allah, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat, begitu banyak kaum muslim di Inggris yang merengek dihadapan kapitalisme. Ya Allah, lewat televisi aku juga melihat pemandangan serupa di berbagai negeri termasuk di Indonesia. Ya Allah, sampai kapan umat Muhammad ini akan seperti ini? Bantu kami ya Allah untuk menegakkan kembali syariat-Mu, dan mengembalikan negara yang Engkau ridhai. Daulah Khilafah al-Islamiyyah. Tanpa-Mu, kami tak bisa apa-apa, dan tanpa-Mu, kami bukan siapa-siapa. Engkaulah yang Maha, Engkaulah Pemilik kekuatan. Sadarkan saudara-saudaraku ya Allah. Kuatkan kami ya Allah, untuk bangun, berdiri, dan istiqamah di Jalan-Mu.. [seperti yang diceritakan Richard Iskandar dalam e-mailnya pada Moenir]
0 comments