Sandal Jepit Saifah
Oleh: Yuni Astuti
Melihat penampilannya dari atas, orang akan hormat sekali. Biasa saja, kerudung yang melambai-lambai seperti layar kapal, jilbab yang menjuntai berwarna cerah, ransel yang disandangnya di punggung, dan... biasanya siapa saja yang melihat bagian bawahnya, akan berkomentar demikian:
“Ih! Akhwat kok pakai sandal jepit?”
Aku sebagai temannya, mafhum mengapa dia, Saifah berpenampilan seperti itu. Kawan, ada sejarahnya mengapa Saifah terlihat begitu cuek dalam berpenampilan. Hampir ke mana-mana dia selalu memakai sandal jepit. Sampai kami menjulukinya “SSJ”. Saifah Sandal Jepit. Memang keterlaluan Kak Uut itu, masa sampai menjuluki Saifah begitu rupa. Jadilah akhwat-akhwat lain mengikuti Kak Uut. Adapun Saifah, hanya cengengesan mendengar julukan itu, dengan tawa khasnya seperti anak kecil:
“Heuheuheu....”
Kalau ke kampus, dia sudah sering dimarahi dosen gara-gara sandal jepitnya itu. Sandal bukan untuk kuliah, sandal cuma pas untuk ke WC! Kalau mau kuliah, berpakaian yang sopan dong. Tidak tahu tata krama. Waduh, bisa-bisa citra akhwat runtuh hanya karena seorang Saifah. Memang kurang ajar ni akhwat, gayanya sok proletar amat seperti lelaki-lelaki lain di pergerakan sosialis yang memakai sandal jepit kalau ke kampus, ya walaupun tidak semuanya.
Setiap kali kunasehati, Saifah diam mendengarkan. Tertunduk ia mendengarku membicarakan kesopanan, citra akhwat, dan sebagainya. Aku merasa di atas angin, uhf...hanya omonganku rupanya yang mau didengar Saifah, si akhwat brengsek ini. Tapi, baru saja berapa meter aku terbang, aku sudah terjerembab ke tanah lumpur sebab Saifah mulai menunjukkan ketengilannya. Yakni...
“Heuheuheu....”
Itu kalau ke kampus. Lain pula ketika kami rapat, ini wajar saja sebab ketika kami rapat, sepatu atau sandal tak punya tempat dalam pembicaraan kami. Tempat mereka di luar! Kami tak memandang dari alas kaki jenis apa yang dipakai. Ya, itu bisa dipastikan, sandal japit Saifah bertengger dengan aduhai di antara sepatu-sepatu kami.
Tetapi, luar biasa tak tahu adat, ketika pada suatu kesempatan dia diundang menjadi pembicara seminar kemahasiswaan. Sebagai pembicara dari kalangan mahasiswa berprestasi! Masya Allah, dia naik ke panggung memakai sandal jepit bututnya itu, jamuran, sudah aus dan lebih bersih sedikit karena sebelum masuk ruangan ia gesekkan pada genangan air. Naudzubillah si Saifah ini. Pantas saja banyak peserta yang bisik-bisik melihat jemari kaki Saifah menggeliat di balik kaos kaki belang-belangnya ketika sandalnya ia lepaskan. Bicaranya sih mungkin bagus, tapi penampilan cueknya itu.... kabina-bina !
Jangan tanya mengapa sandalnya sering kotor, itu karena dia jarang mencucinya. Mau tahukah Kawan, kapan ritual suci pencucian sandalnya? Baiklah...akan kuceritakan. Pada bulan-bulan musim hujan, ketika kami sibuk memindahkan sepatu takut basah, dia malah bersorak karena itu tandanya hujan bisa mencuci sandalnya yang dekil. Atau, jika kebetulan dia kehujanan, dengan riang ia nyemplung ke genangan air, untuk menginjak-injak air itu, maka bersihlah sandal ajaibnya!
“Kalian boleh menghina Saifah. Tapi jangan sekali-kali menghina sandal jepit keramat ini!” ujarnya suatu ketika. Rupanya ia sudah tak tahan lagi mendengar ocehan kami tentang sandal ajaibnya. Tak ada yang istimewa. Sandal berwarna hijau, yang sudah aus itu. Pernah suatu ketika, sandalnya putus. Kukira itu pertanda akan berakhirlah riwayat sandal jepit Saifah, eh, ternyata besoknya ia tetap memakai sandal itu. Di bawahnya telah terpasang peniti agar dapat membuat sandal itu tersambung kembali. Luar biasa!
“Sandal jepit ini bukan sembarang sandal jepit. Dia akan membawaku pada jodohku, pangeran berkacamata... Tau??!” ucapnya dengan gaya khas anak kecil ketika merasa paling tahu di antara teman-temannya.
Tentu saja kami ngakak mendengar cerita itu. Ada-ada saja Saifah ini. Bagaimana mungkin sepasang sandal jepit kotor, jelek, bau, aus dan sering putus itu bisa mempertemukannya dengan jodohnya? Memangnya dia Cinderella? Nanti pangeran—menurutnya pangeran berkacamata—akan datang mencari-cari sandal butut itu? Benar-benar imajinasi yang luar biasa.....ngaco!
Ketika menceritakan kisah sandal jepit itu, Saifah tampak sangat serius meski kawan-kawan meremehkannya.
Kisahnya bermula saat ia mudik ke Jogja. Suatu sore sepulang dari Kaliurang—mungkin mengunjungi kera-kera di hutan—ia mampir di masjid Terban, untuk sholat ashar. Baru masuk ke halamannya yang kecil itu, ia mendengar seorang ikhwan sedang ceramah pada ibu-ibu di teras masjid. Ikhwan itu suaranya menggema hingga ke tempat wudhu dan Saifah mendengarkan isi ceramahnya itu tentang bagaimana cara menjaga keimanan. Saifah kagum, apalagi ketika melewati teras itu ia melihat sekilas kalau ikhwan itu memakai kacamata. Aku heran, kenapa Saifah begitu terobsesi pada ikhwan berkacamata.
Singkat kata, usai sholat itu Saifah tercengang melihat sandal jepitnya yang berukiran nama dan nomor HP-nya raib! Dia memang antik, masa sandal jepit diberi nomor HP segala. Katanya, “kalau hilang kan bisa dikembalikan.”
Masya Allah... Sampai sebegitunyakah kau Saifah? Cuma sandal jepit kok begitu perhatian seperti menjaga berlian?
Saifah kalut, dan ikhwan berkacamata itu tak lagi ceramah. Ia sudah tiada dan rombongan ibu-ibu tadi juga sudah pergi semua. Saifah resah, ke mana sandal jepit warna-warninya? Bertuliskan nama dan nomor HP, berharap si pencuri bersedia mengembalikannya. Hanya ada sepasang sandal jepit hijau di pelataran. Saifah pungut dan meneliti keseluruhannya. Ah! Wajahnya sumringah, melihat sebuah nama tertera di sana: Revoltio.
Pasti! Pasti ikhwan berkacamata itu namanya Revoltio! Tak mungkin ibu-ibu yang memiliki nama seindah ini. Batin Saifah berspekulasi saat itu. Ia amat yakin kalau sandalnya—yang bertuliskan nama dan nomor HP-nya—dibawa pergi oleh pangeran berkacamata tadi. Pikirku, jika benar adanya, berarti ikhwan itu sedikit lebih tidak norak dibandingkan Saifah. Ya, iseng amat sih mengukir namanya di sandal jepit! Pantas saja Saifah amat menyayangi sandal Revoltio itu.
***
Begitulah hari-hari kami bersama Saifah. Terkadang, setelah mendengar ceritanya itu kami memanggilnya: Saifah Revoltio. Maka kembang kempislah hidungnya, merahlah pipinya karena merasa disandingkan dengan sang pangeran berkacamata.
Percayakah Kawan? Saifah memang bertemu dengan pangerannya. Hal itu rasanya mustahil. Peristiwa mudiknya ke Jogja itu tiga tahun yang lalu. Artinya selama tiga tahun kami menemaninya dalam kegilaan akan sandal jepit ajaib itu.
Ya, tiga tahun berlalu. Bermakna pula, Saifah telah menyelesaikan studinya di kampus. Besok dia wisuda, Kawan! Dia akan menjadi Sarjana Hukum Islam! Bahagia aku melihat dia malam ini mematut dirinya di depan cermin memakai jilbab warna coklat yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Dia sendiri yang merancang skestsanya. Aih....pasti dia sangat manis ketika memakainya besok. Aku pun terpikir pada sepatunya. Bayanganku, dia akan tampak semakin anggun jika memakai sepatu berhak. Minimal haknya itu dua centimeter lah...
Aku berdebar ketika perlahan ia membuka lemari kayunya. Ia berjongkok untuk mengambil sebuah kardus kecil, ah! Pasti isinya sepatu high heels yang mewah. Ia membawanya ke hadapanku, membukanya pelan dan hati-hati. Masya Allah! Aku ternganga-nganga sementara ia tersenyum jenaka.
“Heuheuheu....”
Yang ada, sandal jepit butut yang sudah dicuci dan direndam dalam pelembut sehari semalam. Oh my Gosh!!!
Suasana wisuda ramai oleh wisudawan dan wisudawati beserta keluarganya yang banyaknya bisa mencapai satu kelurahan. Para pedagang bunga dan mainan anak-anak. Tak lupa pedagang makanan dan minuman. Meriah sekali seperti hajatan di kampung. Saifah melenggang seperti biasa dengan sandal jepit bohainya. Kami geleng-geleng kepala. Aku membayangkan, bagaimana nanti kalau dia menikah, apakah akan tetap memakai sandal jepit? Dia melambai-lambaikan tangannya menuju tempat duduk mahasiswa. Kami balas melambai.
Selesailah pendidikan formalnya di kampus ini. Sementara aku masih ketar-ketir mengerjakan skripsiku yang belum juga selesai. “Makanya, kerjakan! Jangan dipikirkan terus!” celotehnya suatu ketika. Saifah, ya ya ya, kawanku yang sebenarnya baik hati tapi terkesan bodoh dan aneh di hadapan kawan-kawan. Hanya karena senang memakai sandal jepit.
“Kenapa sih kalian senang sekali menyuruhku memakai sepatu? Kepribadian itu tak ditunjukkan dari sandal atau sepatu... Memangnya ada hadits yang mengharamkan kita memakai sandal jepit gitu?” katanya suatu waktu.
“Biar sopan katamu? Hey, menurutmu, pejabat yang pakai sepatu mengilap sampai silau aku melihatnya tertimpa cahaya matahari itu sopan? Iya, sopan ya? Harusnya memikirkan rakyat, ini malah ngurusin proyek! Trus, artis-artis yang tak punya urat malu itu sopan ya ketika melenggak-lenggok memakai high heels sementara udelnya diobral ke sana ke mari?
“Lalu, aku yang hanya memakai sandal jepit ini tak sopan ya? Tak tahu tata krama ya? Ala siapa sih? Tidak sesuai manner ya? Aku harus sekolah kepribadian dulu ya?”
Demikian Saifah, kata-katanya kini membuatku ingin menitikkan airmata ketika naik ke podium untuk memberikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan mahasiswa. Pidatonya sederhana, tak ada teori-teori atau kaidah-kaidah ushul yang ia paparkan untuk menunjukkan bahwa dirinya sekarang sudah sarjana. Ia hanya mengucapkan terima kasih pada semua dosennya, dan meminta maaf kalau selama ini ia suka memakai.....
Kami berpelukan usai perhelatan itu. Ia tersenyum saat kami memberinya serangkum bunga. Senyumnya lebar, namun setelah lama kami berbincang-bincang dia tampak muram. Matanya berkata demikian meski bibirnya menyunggingkan senyum indah.
“Saifah kenapa?”
Ia diam saja, matanya memandangi sandal jepit di kakinya. Oh, pasti Revoltio. Pangeran berkacamata itu. Hm, ya aku paham. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan untuknya....
***
Seperti biasa, setiap minggu pagi kami berjualan piscok di alun-alun Serang saat banyak orang olahraga di sana. Pagi itu, ajaib sekali Kawan. Pasti kalian menyangka ini sinetron, atau cerpen yang dibuat oleh seorang yang sedang mengigau. Tebak sajalah!
Ada seorang pembeli, ikhwan memakai jaket hitam dan berkacamata. Saifah sampai terpekur memandangi orang itu sampai aku menepuk bahunya. Ia menundukkan pandangan, benar-benar menundukkan pandangannya ke arah...kaki ikhwan itu!
Masya Allah! Ikhwan itu memakai sandal jepit...!
Saifah dengan polosnya meminta ikhwan itu melepas sandalnya. Ikhwan itu heran, dahinya kelihatan berkerut-kerut. Ada apa sama nih akhwat? Mungkin itu maknanya.
“Mau lihat dong! Bentaaaaarrrr” rajuk Saifah, sama sekali tak seperti seorang sarjana. Huh! Memalukan! Pasti dikira sinting oleh ikhwan ini.
Ikhwan itu manut, ia menunjukkan sandalnya—yang juga butut—pada Saifah. Saifah memandanginya penuh penghayatan, matanya berkaca-kaca. Aku penasaran, dan melihat dengan mata kepalaku sendiri, Ya Rabbana.... tertera jelas nama Saifah dan nomor
HP-nya.
“Mbak? Mbak?” ikhwan itu menegur Saifah yang telanjur memeluk sandal ikhwan itu. Dipandanginya kakinya yang memakai sandal jepit hijau Revoltio. Airmatanya menetes.
Ow....Saifah telah menemukan pangerannya!
Saifah cepat-cepat mengembalikan sandal yang tadi dipeluknya. Ia memandang ikhwan itu sebentar, mungkin ingin berkata: tidakkah kau ingat, tiga tahun lalu kita bertemu? Tetapi lelaki itu malah merogoh uang dari saku jaketnya lalu bertransaksi denganku. Kuberikan piscok yang dipesannya.
“Saya tinggal di Kebon Jahe, Mbak. Baru sebulan kerja di sini. Pamit...” ujarnya padaku seraya mengangguk takzim sebelum pergi. Ramah sekali ikhwan ini. Saifah masih terpana memandangi kaki ikhwan itu, berganti-ganti memandangi kakinya sendiri. Lalu senyumnya padaku, yang kuartikan: ha! Apa kubilang! Sandal jepit ini akan mempertemukan aku dengan pangeran berkacamata itu! Revoltio...
Aku geleng-geleng kepala. Saifah...Saifah....
Dia, seperti biasa...
“Heuheuheu.....”
***
My SweeT homE, 20 Januari 2009
“kesamaan nama memang disengaja, heuheuheu...tapi ini fiktif belaka.”
1 comments
wah cerpenku nih...
BalasHapus