Ujian Nasional dan Kapitalisme
Ujian Nasional memang salah satu problematika pendididikan di indonesia yang sampai saat ini belum terselasaikan solusi yang memuaskan bagi semua pihak. Ada yang pro dan kontra, Ada pihak yang menghendaki UN dihapuskan karena tidak adil menentukan standar kelulusan secara nasional dalam kondisi mutu pendidikan kita tidak merata. Namun Pemerintah tetap menghendaki UN itu terus dilakukan. Keduanya dengan argumentasi masing-masing berdasar penafsiran terhadap UU yang ada.
Ini Kapitalisme Bung!
Ujian Nasional memang cukup menarik untuk di obrolin, ujian yang ini memang sudah cukup lama dan bukan barang lama lagi. Kalau zaman dulu dikenal dengan namanya ebtanas, terus apa yang berbeda dengan UN? UN ini muncul untuk melakukan standarisasi pendidikan di Indonesia. Sebenarnya ide standardisasi bukanlah ide baru, jika kita bisa melihat ide ini dengan mudah dengan menggunakan kacamata produksi dalam Kapitalisme. Kapitalisasi memerlukan kompetisi untuk melanggengkan sistemnya, karena dalam kapitalisme semua adalah modal yang harus bisa dijual, no matter what! Dengan menjual dagangannya dalam sebuah kompetisi/lomba “kecerdasan”, sistem ini memastikan bahwa akan selalu ada orang yang membeli dagangannya sehingga keuntungan menjadi hal yang pasti. Dalam sebuah lomba diperlukan sebuah batasan/tujuan yang harus dicapai. Nah dari situlah muncul ide standardisasi pendidikan di Indonesia, hasil pendidikan harus bisa dinilai dengan standar yang terukur, karena itulah UN selalu menyertakan standar nilai kelulusan dalam setiap gelarannya. Terus apakah ini suatu yang buruk? Bukankah dengan pendidikan yang terstandardisasi bakal menghasilkan lulusan yang berkualitas? Harusnya ia
Namun beda harapan beda kenyataan, argumentasi yang terjadi saat ini ialah UN hanya sebagai ajang pamor nama sekolah, bisa kita lihat apabila disalah satu sekolah siswa-siswa kelas 3 lulus semua pastilah sekolah itu tersorot oleh media dan akhirnya sekolah berbondong-bondong dengan berbagai cara meluluskan murid-muridnya. Namun apa yang terjadi lagi-lagi sangat bertolak belakang, UN yang harusnya menjadi standarisasi sepertinya tinggal harapan. Selain itu berbagai masalah masih ada tengoklah saudara-saudara kita yang berada di timur Indonesia, fasilitas yang mereka terima tidak sebanding dengan standarisasi yang mereka harus jalani. Belum lagi SDM guru-guru mutu guru yang kurang baik dan juga kurang konsentrasi karena mereka harus bekerja diluar tugas mengajar untuk menambah penghasilan. Hampir sejuta guru swasta dari sekitar 2,8 juta guru di Indonesia, umumnya punya penghasilan yang jauh dibawah gaji guru PNS (> Rp2 juta/bulan). Dan berbagai masalah yang ada.
Sikap kita?
Bagi kamu para pelajar yang cerdas bermoral, kamu harus mulai ngeh dengan situasi pendidikan di Indonesia, kamu harus nyadar kalo kita emang nggak hidup dalam kondisi yang ideal, jadi kamu harus bisa menyesuaikan diri, pilih mana yang memang harus dan perlu dipelajari dan berharga untuk diperjuangkan, tinggalin yang tidak perlu. Pelajari Islam seperti kuatnya keinginan kamu untuk lolos UN, Kenapa? Karena hanya Islam yang mengantarkan keselamatan di akhirat, tempat dimana kehidupan adalah abadi.
Jangan mau pendidikanmu dikapitalisasi murni, karena kamu berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, supaya kamunya juga berkualitas. Tolak bocoran UN dari guru kamu, kerjakan semaksimal kamu bisa. Terus gimana kalo nggak lulus? Tanya sama guru kamu kenapa sampai ngga bisa lulus, mereka bertanggung jawab terhadap kelulusan dan kualitas pendidikan yang kamu terima. Kalo mereka kemudian berlepas diri dari tanggung jawab? Simple, itu artinya mereka penyelenggara pendidikan yang tidak berkualitas, cari sekolah lain saja, insya Allah masih banyak penyelenggara pendidikan yang berkualitas.
Bagi para penyelenggara pendidikan di negeri ini
bersikaplah adil dan jujur, kalo memang mengharapkan hasil dengan standar kualitas yang baik, tentu juga seharusnya menstandardisasi pelayanan pendidikan dan fasilitas pendidikan yang diberikan, baru kita bisa bicarakan soal standar kelulusan dan biaya (yang hampir pasti mahal). Kalau murid yang tidak berkualitas tidak lolos UN, maka guru yang tidak berkualitas pun harus diberhentikan, pemerintah harus “tega” memecat guru-guru yang bekerja di bawah standar.
Pemerintah juga harus memastikan tidak ada bangunan sekolah yang ambruk, sekolah yang digusur dll, masih banyak pendidikan diselenggarakan dengan “seadanya” di negeri ini. Kalo mau jujur pada diri sendiri, sebenernya kita masih jauh bicarakan soal standardisasi.
Bagi para orang tua
memang menyenangkan dan membanggakan memiliki anak yang cerdas dan bermoral, apalagi menonjol di sekolahnya, namun bukan itu tujuan mereka hidup di dunia ini. Menjadi juara kelas bukanlah segalanya, apalagi di sekolah yang sekuler dan perilaku anak kebawa jadi sekuler. Menjadi juara dalam memahami fisika, biologi, matematika, kimia dll, di sekolah yang sekuler sebenernya tidaklah membanggakan. Bila kita membenci sekulerisme maka jangan mau menyekolahkan anak kita ke sekolah yang sekuler yang bakalan menjadikan kepribadian anak kita kebawa jadi sekuler.
Lain ceritanya bila pendidikan agama sudah menjadi mahal, baru deh wajib nangis darah nasional. Perlu kita ingat, bahwa mendidik tetap menjadi kewajiban orang tua, kewajiban ini tidak bisa ditransfer ke guru di sekolah! Bahkan kewajiban ini nanti akan kita pertanggung jawabkan di akhirat. Sebagai orang tua, pendidikan kepada anak harus diarahkan kepada tujuan mereka hidup di dunia ini, yaitu untuk beribadah, seperti yang tercantum dalam QS-adzzariyat ayat 56 (silakan dibaca dengan seksama).
Mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, masih dalam angan-angan, namun bukan berarti kita diam saja, karena Allah SWT nggak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka sendiri pengen berubah. Mari kita reformasikan cara berfikir kita mengenai apa itu cerdas, seberapa perlukah kita berkompetisi dalam kecerdasan? Seberapa pentingkah juara kelas? Dan mau apa setelah jadi juara kelas dan sukses menembus sekolah bergengsi? Apakah kemudian otomatis menjadikan mereka masuk surga? Jangan mau dijadikan obyek untuk diperas dan diekploitasi oleh kapitalisme!
Sungguh mengerikan bila masyarakat kita dipimpin oleh orang-orang yang dididik seperti ini, dipimpin dan dikendalikan oleh kelompok masyarakat yang cerdas menurut standar sekuler dan cerdas menurut standar kapitalis, jangan heran kalo sangat sulit mengenyahkan kedua sistem kufur tersebut dari bumi Indonesia, dan tragisnya, sebagian dari kita malah menikmatinya (baik dengan kesadaran penuh maupun pura-pura tidak tahu)
kita harus sadar
Hasil dari sistem pendidikan ini tidak memberikan indikasi perbaikan dan kemanfaatan kepada bangsa ,kecuali keuntungan pribadi di masing-masing level, terbukti masih terpuruknya bangsa ini, sejak dideklarasikan merdeka 64 tahun yang lalu. Hampir satu generasi telah lewat, masih perlu berapa generasi lagi untuk berubah? Kalo kita merdeka saja perlu 3,5 abad, perlu berapa lama untuk bisa membangkitkan umat ini? ang perlu kita lakukan saat ini adalah: sadar, belajar, mehami, dan mengamalkan dalam perjuangan untuk lebih baik lagi. Maju bersama untuk melawan penjajahan kapitalisme dan menjadikan Islam satu-satunya.
(shrl)
0 comments