Permintaan Jiwa
oleh: Saifah
Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, seperti meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh karena matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku adalah atas kehendak-Mu. Atas apa yang saat ini kualami, tiada yang dapat kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jika memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.
Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak dapat menentukan apakah ia menerima atau tidak permintaan seorang akhwat yang kini lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah manis dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu.
Sepekan lalu ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi menyampaikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keanehan bagi lelaki yang baru menginjak usia 23 itu.
“Sahabat kami, sudah lama menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun setelah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat seperti amplop untuk melamar kerja.
“Jika ada yang belum jelas, silakan langsung hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.
Fikri tak dapat berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini baru pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan permintaan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang membuat tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…
Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak dapat memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya basah karena berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut basah pula.
Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu setelah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali karena akibatnya adalah ia tak dapat tidur, pikirannya jadi terbayang sosok manis dalam foto itu, ditambah informasi dalam biodata tersebut yang aduhai menunjukkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.
Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang adalah kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah sampai ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan seperti orangtuanya. Terbukti doa mereka mampu membuat Fikri masih bisa belajar sampai S1 dengan bantuan beasiswa.
Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa belajar agama di sana, agar suasananya bisa terasa dekat dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.
Gundahnya terasa menggunung saat membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat bernama Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling lama dua pekan setelah Akhy menerima biodata ana. Jazakallahu khairan.
Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di kegiatan kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan memiliki sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya adalah membuat sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau daerah konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang membuat Fikri semakin berdebar ketika membacanya, adalah Sabila sudah mengenal Fikri sejak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?
Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.
“Ukhti….Sabila?”
“Na’am, siapa ini?”
“Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak dapat ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar suara tegas Sabila justru membuat tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas.
“Oh, iya Akhi..ada apa?”
Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang datang tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat seperti itu apakah begitu usilnya?
“Halo...?” suara imut namun tegas itu menyadarkan Fikri.
“Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini baru pertama kalinya ia berhubungan dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan.
“Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung.
“Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” suara itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup membuat Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu tentang hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya.
“Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?”
“Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”
Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” diam sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?”
Di seberang telepon, sebenarnya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.
“Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari informasi tentang Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.”
“Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?”
“Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”
Terlalu tak dapat mencerna dengan sempurna, Fikri langsung mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia baru sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya lalu berbicara lagi.
“Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri malu sendiri karena ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?
Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan karena menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar.
Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara menerima atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya.
***
Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris membuat hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak langsung telah menjadi perantaranya.
“Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info tentang antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan agar dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.”
“Lalu, dia langsung menerima usul itu?”
“Tidak. Dia juga perempuan biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, sebab sudah banyak calon yang ditawarkan tapi tampaknya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memberikan sengatan listrik biar antum melek.”
Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk menerima tawaran pernikahan itu namun sebuah kabar gembira menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya sejak masih Aliyah.
Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium wangi tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk belajar di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.
“Aku bingung Mas harus bagaimana…”
Mas Bahri menepuk bahu Fikri, “Sudah istikharah?”
“Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak enak sama Sabila…”
Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.”
***
“Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan sebenarnya ana ingin kita bisa menikah setelah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, sebab Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”
Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama seperti biasa. Namun yang lebih ia dengar saat ini adalah justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.
“Mbak Ukhti Sabila….?”
“Berapa lama?”
“Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak
pulang lagi karena ana pengen juga langsung mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….”
“Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, karena ana gak tahu sampai di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”
Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata
janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….”
“Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam….”
Kembali lemas, Fikri hanya terdiam menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak lama lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah.
Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, karena aku akan selalu menunggumu entah kapan kau datang….”
Fikri tak dapat memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!
3 April 2010
“Mencintaimu tanpa batas waktu….”
0 comments