Selesai perjalanan melelahkan dari Puncak Sikunir sambil menunggu datangnya bus di terminal. Kami memenukan Mie Ongklok. Mi (atau bakmi) ongklok adalah mi rebus khas kota Wonosobo dan sekitarnya. Mi rebus ini dibuat dengan racikan khusus menggunakan kol, potongan daun kucai, dan kuah kental berkanji yang disebut loh. Mi ini banyak dijajakan di berbagai warung dan rumah makan di kota tersebut. Pendampingnya biasanya adalah sate sapi, tempe kemul, serta keripik tahu.
Nama "Ongklok" adalah semacam keranjang kecil dari anyaman bambu yang dipakai untuk membantu perebusan mi. Penggunaan alat bantu ini khas daerah setempat sehingga diberikanlah nama mi rebus ini sesuai dengan alat tersebut.
Mie Ongklok adalah hidangan utama asli Dieng Wonosobo yang memiliki nama nyentrik serta rasa yang unik. Selain itu tampilannya yang sederhana meyimpan sejuta misteri bagi yang ingin mencobanya. Mie Ongklok ini berbahan dasar mie kuning ditambah sayur-sayuran segar seperti kubis, daun kucai. Ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam gayung dari anyaman bambu kemudian dicelupkan berulang-ulang ke dalam air yang mendidih.
Sambil sesekali diongklok, nah inilah salah satu alasan kenapa makanan ini bernama Mie Ongklok. Ongklok adalah bahasa daerah Wonosobo, yang dalam bahasa Indonesia kata ongklok memiliki kesamaan arti dengan goncang atau kocok.
Setelah matang kemudian mie dan campuran sayuran tersebut dituang ke dalam mangkok lalu dituangi dengan kuah kental berbahan dasar gula jawa, ebi, rempah-rempah, dan tentu saja satu bahan yang membuat kuah ini kental tepung kanji. Kuah kental inilah yang membuat Mie Ongklok begitu special dan berbeda dari sajian berbahan dasar mie-mie yang lain.
Sumber : wikipedia,
http://www.dieng.biz
Dieng salah satu daerah di Wonosobo Jawa Tengah menurut wikipedia letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Lokasi ini menjadi salah satu tujuan wisata kami 10 bulan lalu. Masih menurut wikipedia Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Kawi: "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.
Sebelum berangkat titik kumpul kami berada di Kebayoran Baru kediaman rumah Fajrul (Jujung) dan dilanjutkan naik busway menuju Terminal Lebak Bulus. Beruntungnya kami saat itu sebab hampir semua bus menuju wonosobo habis terjual. Selang beberapa jam kami menunggu akhirnya ada satu bus tambahan Sinar Jaya menuju wonosobo, tiketnya Rp.92.000,- /orang melalui loket PO.
 |
| Masjid Al Huda |
Sekitar jam 10.00 WIB kami berangkat dari Lebak Bulus berhenti beberapa jam di statisun Cibitung dan melewati jalur Pantura . Karena masih dalam suasana lebaran dan perbaikan jalan jadi agak sedikit macet khususnya didaerah Cirebon dan Brebes. Sempat berhenti di rest area Brebes sekitar jam 03.00 WIB dini hari kami sempatkan untuk makan malam. Lanjut lagi perjalanan sampai Wonosobo sekitar pukul 14.00 WIB. Lokasi pertama yang kami cari adalah Masjid sekedar untuk singgah dan beristirahat sambil menentukan jejak selanjutnya. Sekitar 500 Meter dari jalan raya dan masuk gang kami menemukan Masjid Al Huda Sudagaran Wonosobo.
Selesai sholat dan makan kami melanjutkan perjalanan menuju Masjid Kauman depan SMP hanya naik angkot sekali ke lokasi karena sudah janji dengan teman twitter. Cukup lama menunggu sekitar hampir 2 jam kami menunggu akhirnya teman twitter saya mas baik hati (saya lupa namanya) menerima kami menginap semalaman di sekretariatnya bersebelahan dengan komplek kereta api. Menurut kami ini pertolongan Allah yang luar biasa, setelah bertemu dan banyak ngobrol dengan mas baik hati ini. Ternyata beliau jarang buka twitter, pada saat bersamaan pula komunikasi kami hanya lewat twitter, itupun melalui kawan kami Farhan yang sedang berada di Sukabumi.
Satu malam kami habiskan di pusat kota Wonosobo ditemani tahu petis khas daerah sana, kami teruskan perjalanan menuju dieng. Hanya sekali naik mini bus dengan jarak tempuh sekitar 45 menit . Sesampainya di lokasi kami disambut udara yang sejuk dan pemandangan yang asri dengan corak bangunan mirip kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Karena kami semua backpaker perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki sekitar 30 menit menuju wisata Telaga Warna. Tiket masuk dikenakan Rp.20.000/orang untuk mengunjungi semua lokasi wisata yang ada.
Sekitar pukul 18.00 WIB kami berhasil mendaki bukit sikunir dan bermalam mendirikan dua tenda dipuncak gunung ditemani bintang-bintang dan suhu udara yang cukup dingin sekitar 10 derajat celcius. Hasilnya kami hanya bisa tidur 1 jam saja selebihnya menahan dingin dan menikmati keindahan ciptaan Allah SWT. Malam berlalu waktu yang ditunggu telah tiba kami menyaksikan matahari terbit diatas ketinggian, begitu indah ciptaanya hingga kata-kata itu tak mampu lagi mengungkapkannya. Jalan-jalan kali ini cukup berkesan sebab ada banyak pertolongan Allah yang tak terduga disela-sela perjalanan kami. Kami dapat bus tambahan, penginapan gratis, dan beberapa pertolongan lainnya. Begitu besar nikmat Allah ... Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban.....
