Wawancara Bersama Amien Rais
Prof. Dr. H. Amien Rais terlahir di kota Solo, 26 April 1944 pernah menjabat sebagai ketua MPR periode 1999 – 2004. Banyak menghabiskan waktu belajar di luar negeri dan sempat menduduki Ketua Umum PAN (Partai Amanat Nasional) sejak berdirinya hingga tahun 2005. Dibilangan Jakarta Selatan,saya dan kawan-kawan diterima dengan hangat meski aktifitas beliau sangat padat.Dalam kesempatan ini pula kami banyak berbincang terkait Pendidikan di Indonesia, berikut pandangan seorang Tokoh Bangsa yang pernah mengusung Koalisi Islam poros.
Saya senang sekali adik-adik atau anak-anak datang kesini menanyakan beberapa hal. Saya lahir di kota Solo. Kenangan saya dimasa kecil itu, yakni ibu dan ayah saya sangat menekankan tentang pentingnya pendidikan. Kami 6 bersaudara, saat kecil saat kakak saya kelas 6 SD dan saya kelas 4 SD Ibu saya sering membawa saya dan adik-kakak saya ke Perpustakaan daerah, dengan membawa pas foto 3x4. Dengan itu kami bisa memilih buku bacaan. Saat itu saya sudah terbiasa membaca buku-buku berat, buku cerita dan dongeng bahkan pengetahuan elementer. Setelah itu ibu saya memberikan sebuah skrip disitu ada 3 kolom yang disi dengan nomor, nama buku, dan dibaca tanggal berapa.
Dari situlah kemudian saya sekolah di Muhammadiyah dan sudah ada perpustakaan di sekolah, jadi saya sudah agak jarang ke Perpustakaan Daerah , sorenya saya belajar di pengajian Muhammadiyah. Dan ibu saya ingin saya belajar ke Mesir. Kemudian saya masuk di UGM (Universitas Gajah Mada) Fakultas Sosial Politik jurusan Hubungan Internasional dan lulus 1986, selain itu juga lulus sebagai sarjana muda di IAIN Kalijaga jurusan Tarbiyah. Saya dijadikan dosen, lantas pada tahun 1974 saya mengambil Master Degree di Amerika, kemudian kembali mengajar dan setahun setelahnya saya di Chicago dan saya mendapat gelar Doctor selama 5 setengah tahun diselingi mengambil riset di Cairo 1 tahun.
Bahwa dengan ilmu membuat percaya diri, berwawasan luas, dan lebih mudah mendapat rezeki. Bapak saya katakan “Nak, tidak ada ceritanya orang berilmu itu kelaparan”. Kemudian juga ibu saya mengatakan ilmu itu lebih dibandingkan uang. Karena uang itu jika diberikan akan berkurang namun jika ilmu jika diberikan akan bertambah. Ilmu itu tidak perlu dijaga justru ilmu itu yang akan menjaga berbeda dengan uang itu perlu dijaga satpam. Dan oleh karena itu, saya diajarkan untuk mencintai ilmu orang berilmu itu lebih mulia daripada seorang hartawan. Dan sampai saat ini saya juga bersama istri saya fokus pada bidang pendidikan, karena kita sadar untuk Indonesia yang lebih cemerlang itu dengan ilmu untuk memajukan bangsa.
Di Indonesia pendidikan masih dianak tirikan dari masa ke masa. Saya malu kita katakan pada Malaysia, karena Malaysia itu menyadari bahwa kemajuan Malaysia itu dengan IPTEK dan anak mudanya. Jadi waktu di tahun 60an-70an saat saya dan Syafi’i Maarif di kirimkan ke Amerika. Disana hanya ada 3 orang Indonesia, sedangkan Malaysia mengirimkan beratus-ratus anak mudanya. Sehingga keunggulan Malaysia itu ketika anak-anak muda tersebut kembali ke Malaysia dapat memperkuat sistem perekonomian di Malaysia dan terus membangunnya. Berbeda saat itu pada zaman Pak Harto dimana harga minyak melambung dan krisis moneter tetapi Negara juga tidak diuntungkan. Barangsiapa yang ingin menguasai dunia maka dengan ilmu, dan barangsiapa yang Berjaya di Akhirat juga dengan ilmu. Dan Barang siapa yang ingin sukses di dunia dan di akhirat maka dengan ilmu. Jadilah inilah yang saya kira perlu bolong-bolong besar dalam sistem pendidikan ini harus ditutup dengan kerja nasional.
Pada saat saya menjadi ketua MPR tahun 1999 itu berhasil memasukan pada UU 1945 anggaran pendidikan menjadi seperlima dari APBN dan APBD, dari anggaran yang tadinya 5% pendidikan agar dinaikan menjadi 20 %. Kata teman-teman luarbiasa karena di Germany dan lihat di Negara maju juga demikian walau itupun juga sangat sempoyongan memperjuangkannya.
Sesungguhnya rawan, karena kurang masukan dari anggaran APBD yang seharusnya bisa mencapai 49%, jadi ada bantunan dari SD, SMP SMA bahkan hingga Perguruan tinggi. Jadi semisal ada negara kaya dari Scandivia dan Amerika untuk membangun kampus yang bagus itu boleh saja. Meski itu luar biasa dan ada sesuatu yang sangat konyol, yaitu pemerintah tidak membuka kesempatan pihak asing memegang saham pendidikan. Sehingga UI, ITB, UGM dapat maju dan berkembang bersama-sama dan kemudian jangan membebek, jadi kalo nanti anak-anak kita bisa tidak paham Pancasila dan lebih barat dari barat ya jangan kaget. Ini bangsa yang masih sangat feodal. Karena sekarang ini lucu, kalo yang di puncak Presiden, Gubernur, Bupati, Camat itu seragam dari gerakan kejiwaan bahwa pendidikan itu adalah pusat kemajuan. Tapi ternyata jarang dosen-dosen itu dibiayai negara dan tidak ada, padahal jika negara menyisihkan dari minyak itu misal : 20% untuk pendidikan itu sudah bisa ada berapa triliyun.
Demikian wawancara saya dan teman-teman mengenai pendidikan di Indonesia bersama Amien Rais semoga bermanfaat dan menjadi bahan masukan untuk perbaikan pendidikan di Indonesia.
Kronologi Perjalanan Pendidikan Pak Amien Rais sejak di Sekolah Dasar ?
Saya senang sekali adik-adik atau anak-anak datang kesini menanyakan beberapa hal. Saya lahir di kota Solo. Kenangan saya dimasa kecil itu, yakni ibu dan ayah saya sangat menekankan tentang pentingnya pendidikan. Kami 6 bersaudara, saat kecil saat kakak saya kelas 6 SD dan saya kelas 4 SD Ibu saya sering membawa saya dan adik-kakak saya ke Perpustakaan daerah, dengan membawa pas foto 3x4. Dengan itu kami bisa memilih buku bacaan. Saat itu saya sudah terbiasa membaca buku-buku berat, buku cerita dan dongeng bahkan pengetahuan elementer. Setelah itu ibu saya memberikan sebuah skrip disitu ada 3 kolom yang disi dengan nomor, nama buku, dan dibaca tanggal berapa.
Dari situlah kemudian saya sekolah di Muhammadiyah dan sudah ada perpustakaan di sekolah, jadi saya sudah agak jarang ke Perpustakaan Daerah , sorenya saya belajar di pengajian Muhammadiyah. Dan ibu saya ingin saya belajar ke Mesir. Kemudian saya masuk di UGM (Universitas Gajah Mada) Fakultas Sosial Politik jurusan Hubungan Internasional dan lulus 1986, selain itu juga lulus sebagai sarjana muda di IAIN Kalijaga jurusan Tarbiyah. Saya dijadikan dosen, lantas pada tahun 1974 saya mengambil Master Degree di Amerika, kemudian kembali mengajar dan setahun setelahnya saya di Chicago dan saya mendapat gelar Doctor selama 5 setengah tahun diselingi mengambil riset di Cairo 1 tahun.
Bahwa dengan ilmu membuat percaya diri, berwawasan luas, dan lebih mudah mendapat rezeki. Bapak saya katakan “Nak, tidak ada ceritanya orang berilmu itu kelaparan”. Kemudian juga ibu saya mengatakan ilmu itu lebih dibandingkan uang. Karena uang itu jika diberikan akan berkurang namun jika ilmu jika diberikan akan bertambah. Ilmu itu tidak perlu dijaga justru ilmu itu yang akan menjaga berbeda dengan uang itu perlu dijaga satpam. Dan oleh karena itu, saya diajarkan untuk mencintai ilmu orang berilmu itu lebih mulia daripada seorang hartawan. Dan sampai saat ini saya juga bersama istri saya fokus pada bidang pendidikan, karena kita sadar untuk Indonesia yang lebih cemerlang itu dengan ilmu untuk memajukan bangsa.
Pandangan mengenai Pendidikan di Indonesia itu?
Di Indonesia pendidikan masih dianak tirikan dari masa ke masa. Saya malu kita katakan pada Malaysia, karena Malaysia itu menyadari bahwa kemajuan Malaysia itu dengan IPTEK dan anak mudanya. Jadi waktu di tahun 60an-70an saat saya dan Syafi’i Maarif di kirimkan ke Amerika. Disana hanya ada 3 orang Indonesia, sedangkan Malaysia mengirimkan beratus-ratus anak mudanya. Sehingga keunggulan Malaysia itu ketika anak-anak muda tersebut kembali ke Malaysia dapat memperkuat sistem perekonomian di Malaysia dan terus membangunnya. Berbeda saat itu pada zaman Pak Harto dimana harga minyak melambung dan krisis moneter tetapi Negara juga tidak diuntungkan. Barangsiapa yang ingin menguasai dunia maka dengan ilmu, dan barangsiapa yang Berjaya di Akhirat juga dengan ilmu. Dan Barang siapa yang ingin sukses di dunia dan di akhirat maka dengan ilmu. Jadilah inilah yang saya kira perlu bolong-bolong besar dalam sistem pendidikan ini harus ditutup dengan kerja nasional.
Pada saat saya menjadi ketua MPR tahun 1999 itu berhasil memasukan pada UU 1945 anggaran pendidikan menjadi seperlima dari APBN dan APBD, dari anggaran yang tadinya 5% pendidikan agar dinaikan menjadi 20 %. Kata teman-teman luarbiasa karena di Germany dan lihat di Negara maju juga demikian walau itupun juga sangat sempoyongan memperjuangkannya.
Pendapat Mengenai Politic Education ?
Sesungguhnya rawan, karena kurang masukan dari anggaran APBD yang seharusnya bisa mencapai 49%, jadi ada bantunan dari SD, SMP SMA bahkan hingga Perguruan tinggi. Jadi semisal ada negara kaya dari Scandivia dan Amerika untuk membangun kampus yang bagus itu boleh saja. Meski itu luar biasa dan ada sesuatu yang sangat konyol, yaitu pemerintah tidak membuka kesempatan pihak asing memegang saham pendidikan. Sehingga UI, ITB, UGM dapat maju dan berkembang bersama-sama dan kemudian jangan membebek, jadi kalo nanti anak-anak kita bisa tidak paham Pancasila dan lebih barat dari barat ya jangan kaget. Ini bangsa yang masih sangat feodal. Karena sekarang ini lucu, kalo yang di puncak Presiden, Gubernur, Bupati, Camat itu seragam dari gerakan kejiwaan bahwa pendidikan itu adalah pusat kemajuan. Tapi ternyata jarang dosen-dosen itu dibiayai negara dan tidak ada, padahal jika negara menyisihkan dari minyak itu misal : 20% untuk pendidikan itu sudah bisa ada berapa triliyun.
Demikian wawancara saya dan teman-teman mengenai pendidikan di Indonesia bersama Amien Rais semoga bermanfaat dan menjadi bahan masukan untuk perbaikan pendidikan di Indonesia.
0 comments