Saat Lebaran Tiba

By 17.51 ,



Suara beduk yang disusul dengan lantunan merdu adzan Magrib terdengar ketika aku melangkah memasuki halaman. Setelah mengucapkan salam aku langsung masuk ke rumah. Kuletakkan ransel di punggungku ke atas sofa, lalu bergegas menuju ruang makan."Eh, Wi... pulang juga akhirnya. Ayo cepat, sudah buka nih!" Jamal dan Leni yang berebut kolak pisang buatan ibu langsung menghentikan aksi mereka saat ibu menyapaku, begitu juga dengan Kak Rita. Setelah membaca doa berbuka kuteguk habis segelas teh manis yang disodorkan ibu.

"Kakak sudah libur?" tanya Jamal sambil menyendok kolak ke piringnya.
"Sudah. Bapak mana, Bu?" tanyaku karena kulihat Bapak tidak ada di antara kami.
"Pergi sama temannya kemarin, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."

Aku memang tidak tinggal di rumah lagi. Setelah tamat SMP, aku berhasil masuk SMA unggul di kota yang mengharuskan siswanya tinggal di asrama.
Sekarang, aku sudah kelas dua SMU. Tahun lalu, aku menghabiskan Ramadhan di rumah, karena sekolah diliburkan. Tapi sekarang tidak lagi, sekolah hanya diliburkan seminggu sebelum lebaran tiba, jadi saat inilah pertama kalinya aku berbuka puasa bersama keluarga.


***


"Nggak shalat tarawih, Kak?" ujarku pada Kak Rita yang masih belum beranjak dari kursinya, aku yakin dia kekenyangan.
Kak Rita menoleh, "Wi, malam ini tarawih di rumah aja ya, bantu kakak buat kue."
"Buat kue? Besok kan bisa." Keningku berkerut.
"Besok juga. Kita harus mengejar waktu, lebaran tinggal enam hari lagi, belum satu kue-pun yang terbuat. Habisnya...hm...bapak baru kasih uang tadi siang. Kakak lihat tetangga-tetangga kita yang lain, kuenya sudah siap semua."
"Kak, salah satu cara menghidupkan malam ramadhan itu dengan shalat tarawih, bukan dengan buat kue."
"Tapi kitakan malu sama tetangga, Wi."
"Lalu sama Allah apa kita tidak malu?"
Kak Rita diam. Bingung mencari alasan.
"Sudah... sudah... kamu berangkat saja, Wi. Biar ibu yang bantuin kakakmu." Tiba-tiba ibu muncul dari dalam kamar, melerai pertengkaran kami.
"Lho, jadi ibu juga nggak tarawih?" keningku berkerut lagi.
"Kakakmu benar, kita belum satupun buat kue. Kapan lagi? Ibu tarawih di rumah saja."
Aku hanya diam. Lalu beranjak ke kamar mengambil sajadah dan mukena. Belum sanggup aku mendebat ibu, bisa-bisa nanti ibu jadi tersinggung.
"Leni... ayo ikut kakak ke mesjid." Aku menegur Leni, si bungsu. Dia kelas 3 SD.
"Wi, Leni nggak usah diajak. Dia bantu ngocok-ngocok telur."
"Iya, Kak, Leni juga lagi malas nih."
Sambil mendengus sebal, akhirnya aku melangkah keluar rumah, menuju masjid. Menyusul Jamal yang sudah berangkat dari tadi.

Ada hal istimewa yang biasanya selalu terjadi di kampungku kalau lebaran tiba. Sebenarnya bukan hal istimewa, tapi bisa dikatakan kebiasaan buruk yang terjadi sejak dahulu, sudah turun temurun, sudah menjadi tradisi.Saat lebaran adalah waktu untuk menunjukkan dan memamerkan semua kekayaan dan harta benda yang dimiliki. Para orangtua berlomba membelikan baju terbaru dan termahal untuk anak-anaknya. Saat lebaran semuanya seolah menunjukkan inilah saya.

Seminggu sebelum lebaran hampir semua warga kampung menjadi super sibuk. Halaman dan pekarangan rumah dibersihkan, kaca-kaca jendela dibuat mengkilap, kain gorden, seprai, sarung bantal, semuanya diganti dengan yang baru. Para remaja putri dan ibu-ibu lebih banyak berkutat di dapur membuat aneka jenis kue.
Kesibukan-kesibukan itu tentu saja telah menyita waktu untuk beribadah. Jika di awal Ramadhan masjid dan mushala seakan mau pecah karena banyaknya jamaah, maka di akhir Ramadhan jumlah jamaahnya bisa dihitung dengan jari.
Dan itu juga terjadi dalam keluargaku.

"Wi, dari tadi kok melamun saja. Ayo bantuin kakakmu." Lamunanku buyar seketika oleh teguran ibu.
Aku bangkit, membantu Kak Rita melepaskan semua gorden-gorden jendela.
"Mau diganti yang baru lagi ya, Kak?" tanyaku.
"Iya dong, lebaran kan tingal lima hari lagi." Kak Rita menyahut tanpa menoleh padaku.
"Tapi inikan masih bagus, Kak. Kalau dicuci pasti jadi seperti baru lagi."
"Kamu ini bagaimana, malu dong sama tetangga."
Selalu seperti itu. Malu sama tetangga. Apa-apa selalu dibandingkan dengan tetangga. Entah sudah berapa banyak gorden-gorden lama di lemari yang masih bagus tetapi tidak pernah dipakai lagi.
"Yang baru sudah dibeli?" tanyaku kemudian.
"Sudah, kemarin Bapak yang beli." Aku hanya melongo.
Begitu semua gorden sudah terlepas, Kak Rita menyuruhku membersihkan kaca jendela. Saat itulah Bapak muncul membawa dua buah kantong plastik besar di masing-masing tangannya.

Bapak meletakkan barang belanjaan di tengah ruang tamu, lalu mengeluarkannya satu per satu. Lima botol sirup yang berbeda warna, beberapa helai sarung, juga kue-kue dalam kaleng, padahal Ibu dan Kak Rita sudah banyak membuat kue dalam dua hari ini.
"Leni...!" kata Bapak kemudian, memanggil si bungsu. Yang dipanggil secepat kilat muncul dari dapur, bajunya belepotan adonan kue. Dia sedang membantu Ibu."Nih, baju baru Leni," ujarnya kemudian.
Bapak mengeluarkan dua kotak dari kantong plastik besar. Sepasang sepatu dan sandal baru. Lalu mengeluarkan dua pasang baju dari kantong yang lain dan memberikan pada Leni.

"Jamal mana?" tanya Bapak, lalu mengeluarkan bagian Jamal dari dalam kantong.
"Wah, pas sekali, Pak. Bapak benar-benar pintar memilihkan," ujar Leni sambil berlenggak-lenggok mencoba sepatu barunya.
"Ya sudah. Ayo simpan di lemarimu. Terus ini kasihkan sama abangmu." Bapak menyerahkan bagian Jamal pada Leni. Aku sudah menebak apa isinya. Sepatu, sandal, dan baju baru.

"Buat Rita, Pak?" Kak Rita ternyata iri juga melihat Leni dan Jamal yang masih SD.
Bapak merogoh dompetnya. Menyerahkan empat lembar pecahan seratus ribu pada Kak Rita yang langsung menerimanya dengan mata berbinar.

"Kamu cari sendiri. Bapak takut nanti tidak sesuai ukuran," kata Bapak. Bapak juga menyerahkan sejumlah uang yang sama padaku. Aku dan Kak Rita hanya beda dua tahun, dia sudah tamat SMU tahun kemarin. Mau kuliah tapi tidak lulus tes perguruan tinggi negeri, katanya mau diulang lagi tahun depan. Mau masuk swasta terlalu mahal.
"Dewi nggak usah beli baju, Pak. Yang lama masih bagus-bagus." Aku menolak uang pemberian Bapak. Kak Rita dan Bapak terkejut mendengar ucapanku. Hari gini.... Nggak beli baju baru buat lebaran? Mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.
"Tapi kamu harus beli, Wi." Bapak tidak terima.
"Tapi baju Dewi sudah banyak, Pak."
"Ini bukan masalah bajumu masih banyak, Wi, tapi..." Bapak menggantung ucapannya. Aku tahu lanjutannya. Bapak pasti segan sama orang-orang. Malu kalau nanti ada yang bilang bapak tidak sanggup membelikanku baju baru.

Selama ini warga di kampungku memang telah menyalahartikan makna Idul Fitri. Bagi bapak, ibu, kakak, dan kebanyakan warga lainnya, Idul Fitri adalah ajang pamer kekayaan.

Besok lebaran tiba. Hari yang dinanti oleh semua orang. Ada yang senang karena siang tidak harus menahan lapar dan haus lagi. Ada juga yang sedih karena bulan amalan dilipatgandakan pahalanya akan pergi.Andai semua bulan adalah Ramadhan, sungguh menyenangkan. Betapa tidak? Rumahku kelihatan sangat indah. Halaman tampak sangat bersih. Kaca-kaca licin mengkilat dengan kain gorden yang masih baru. Aneka jenis kue sudah berderet rapi dalam lemari, toko kue sepertinya kalah. Tapi Ibu dan Kak Rita selalu marah-marah saat Jamal dan Leni diam-diam mengambil kue itu.

"Nanti saja dimakannya, itu untuk tamu, kalau habis bagaimana?" begitu selalu alasan mereka.
Jadi Ibu dan Kak Rita capek-capek buat kue itu tidak boleh dimakan? Haruskah tamu yang pertama kali harus mencicipinya? Lagipula tidak mungkin Jamal dan Leni sanggup menghabiskan kue sebanyak itu.
"Bu, Bapak kok belum pulang. Kita kan belum bayar zakat?" kataku pada Ibu. Dua hari yang lalu Bapak pergi ke rumah Nenek di kampung sebelah, sekitar empat kilometer. Katanya hanya sehari, mengantarkan Nenek belanjaan dan juga mengantarkan beberapa kue. Tapi sampai sekarang Bapak belum juga kembali.
"Ibu juga tidak tahu, Wi," jawab Ibu, sambil melanjutkan pekerjaannya. Kami sedang membat ketupat untuk santapan besok sepulang shalat Id di lapangan.

Tok...tok...tok...
Seseorang mengetuk pintu dari luar.
"Assalamualaikum..." terdengar seseorang mengucapkan salam. Aku segera membukakan pintu.
"Nenek...!" aku langsung memeluk Nenek. Ternyata Bapak berhasil membujuk Nenek untuk berlebaran bersama kami. Tapi kok Nenek datang sendiri? Mana Bapak? Kuajak Nenek masuk, lalu kemudian memanggil Ibu.
"Bapakmu mana, Wi?" tanya Nenek begitu duduk di atas sofa baru.
Aku kaget, begitu juga dengan Ibu dan Kak Rita yang keluar kamar saat mendengar Nenek datang.
"Bukannya Bapak ke rumah Nenek?" Kak Rita yang menjawab pertanyaan itu.
Sekarang gantian Nenek yang memandang kami dengan heran. Kami semua mulai cemas. Apa yang terjadi dengan Bapak? Ke mana dia?Suara beduk menandakan waktu berbuka tiba terdengar dari masjid. Penuh tanda tanya kami beranjak meninggalkan ruang tamu, menuju meja makan. Tak ada yang bersuara, semua cemas memikirkan Bapak.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar...
Lailahailallah huwallahu Akbar...
Allahu Akbar walillahilhamd...
Suara takbir mulai bergema. Angin Idul Fitri telah menyapa. Syawal datang menyambut. Lebaran sudah di depan mata.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan. Bergegas Ibu segera membukakan pintu. Pasti ibu berharap, jika itu bukan Bapak, setidaknya orang yang membawakan kabar tentang Bapak.
"Maaf, apa betul ini rumahnya Pak Umar?"
"Be...betul. Ada apa dengan... suami saya, Pak?" terbata Ibu menjawab. Aku menuju pintu depan, menyusul ibu. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk langsung hinggap di kepala. Hanya dua hal yang sekarang bermain di kepalaku. Penjara dan rumah sakit.
Tiga orang anggota polisi mencari Bapak. Ada apa?
"Kami dari kepolisian ditugaskan menangkap Pak Umar, karena dia salah seorang tersangka yang ikut melakukan perampokan toko emas seminggu yang lalu."
Tubuh Ibu tiba-tiba jatuh. Aku segera menyambutnya.
Bapak? Merampok toko emas? Seminggu lalu?
"Bapak mana, Bu?" tanyaku setelah kemudian kulihat tidak ada Bapak di antara kami.
"Kemarin pergi sama temannya, katanya ada urusan penting, mungkin besok baru pulang."
Aku ingat, pertanyaan itu kulontarkan pada ibu ketika pertama kali sampai di rumah. Apakah saat itu Bapak melakukannya?

Tiba-tiba aku merasa sangat bodoh sekali. Mengapa aku tidak berpikir dari mana Bapak mendapatkan uang sedemikian banyak untuk membelikan kami baju dan sepatu baru? Kue-kue, gorden, juga sofa baru.

Dari mana semua uang itu? Kalau dari gaji Bapak yang hanya seorang pegawai negeri aku yakin tidak mencukupi, walaupun itu sudah ditambah dengan tunjangan hari raya.

Ah...Bapak. Mengapa dengan cara ini dia menyambut lebaran? Mengapa dengan cara ini dia menunjukkan pada tetangga kalau dia mampu? Apakah makna Idul Fitri di hati bapak?
Air mata mengaliar di pipiku. Aku ingat, kami belum bayar zakat.

www.annida-online.com

You Might Also Like

0 comments