Demam BBF

By 17.59 ,



Baru saja Edit membuka engsel pintu pagar rumahnya, tiba-tiba Tina dari dalam rumah berlari-lari sambil meneriaki namanya, persis seperti adegan kuda lumping kesurupan.

"Mas Ediiit!" Kemudian dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya yang mirip intruksi tim gegana ketika menjinakkan bom, "Jangan masukin motornya duluu!"

Kontan Edit ternganga di atas hondanya. Sementara Tina ngos-ngosan menghadang ban depan motor Edit itu.

"Plis, Mas, pliis...!" Tina memohon dengan ekspresi hampir menangis sambil menutup pintu pagar, membuat Edit mau tidak mau harus memundurkan motornya kembali ke luar.

"Ada apa sih, Na?"

"Penting, Mas! Penting banget! Lu cepet anterin gue ke Alfamart!" tanpa dikomando apalagi diberi aba-aba, Tina tahu-tahu sudah duduk di belakang Edit.

"Kenapa nggak sama Mbak Nita sih? Mas kan baru pulang kuliah!" Edit mencoba menyampaikan aspirasinya, tapi keburu dibungkam oleh ancaman Tina yang disertai isakan memilukan.

"Ya udah kalo lu nggak mau nganterin juga, sini gue yang nyetir sendiri, biarin kalau gue ketabrak di jalan. Emang orang di rumah ini nggak ada yang peduli sama gue!" Tina ngambek. Bulir-bulir air seakan sudah siap meluncur sejak tadi dari kedua bola matanya dan juga hidungnya. Jurus ampuh yang dapat memaksa Edit terenyuh dan iba.

Biar bagaimanapun, Edit tahu persis Tina belum lihai mengendarai motor, maka dengan berat hati dan pikiran yang sesak oleh kebingungan, Edit pun menuruti permintaan adik bungsunya itu.

"Ya sudah Mas anter deh, mau beli apa sih?"

Tina tersenyum super lebar, tanpa jawaban.

"Cepetan, Mas!"

***

Lima mini market, tujuh tempat loper koran yang kebanyakan sudah nyaris tutup karena memang sudah cukup malam, semuanya disambangi oleh motor Edit, namun nihil, apa yang Tina cari belum juga didapatkan. Setengah putus asa gadis SMA itu melapor pada Edit.

"Gimana nih, Mas... semua bilang udah kehabisan!"

Demi melihat wajah depresi adiknya itu kembali menyimpan harapan, Edit pun mengalahkan rasa lelahnya.

"Di dekat patal kalau nggak salah masih ada satu tempat loper lagi, lumayan besar, coba cari di sana, mungkin ada!"

Tina buru-buru melesat ke jok belakang Edit tanpa kata. Mas kesayangannya itu pun langsung menancap gas.

Dugaan Edit benar, tempat loper itu rupanya masih menyimpan banyak stok tabloid yang dicari-cari oleh Tina. Abang penjualnya bahkan sudah tahu apa yang sedang dicari-cari Tina sebelum gadis itu mengatakannya.

"Nyari tabloid SupperStarr kan?"

Ckckck...

Rupanya tabloid itu memang sedang laris manis tanjung timpul, membuat rasa penasaran Edit makin runcing saja.

"Ada berita apa sih, Na? Kok segitu perlunya?" Edit mencoba mengintip-intip.

Tina masih mematung di depan tempat loper itu, asyik menatapi cover tabloid yang dengan tetes keringat dan air mata akhirnya berhasil ia peroleh. Setelah Edit mengulangi pertanyaannya untuk kedua kalinya barulah Tina mampu menjawab.

"Ini edisi spesial BBF keempat, Mas! Gue nggak mau ketinggalan."

"BBF?" Edit tidak mengerti.

Tina pun membalik cover tabloidnya ke arah Edit. Terpampanglah foto empat orang cowok yang memamerkan aura kegantengan Asia, dengan deretan gigi rapi berkilau dan pandangan mata yang menghipnotis seolah minta dibeli. Edit terpelongo tidak percaya, rupanya pengorbanannya malam ini hanya demi untuk...

"Boys Before Flowers!" Tina tersenyum haru.

Edit nge-gubrak dalam hati.
"Kamu apa-apaan sih, Dit? Ngapain semalam kamu antar Tina segala?"

Keesokan paginya, setelah Tina berangkat sekolah, sebelum Edit ngampus, Mbak Nita melayangkan teguran. Edit sudah bisa menduga sebelumnya, karena sepulang dari patal semalam Tina menyembunyikan tabloid cover BBF itu begitu sampai rumah. Takut apalagi? Pasti takut ketahuan Mbak Nita.

"Lihat tuh si Tina! Kayak pemuja berhala di zaman Nabi Ibrahim." Seloroh kakak sulungnya itu lagi.

"Masa' sih, Mbak?" Edit meragukan karena memang Mbak Nita sering terkesan lebay.

"Cuma membeli tabloid apa salahnya to?" Edit kembali berujar.

"Lihat sendiri dengan mata kepalamu!" potong Mbak Nita sambil menunjuk ke arah kamar Tina.

Edit menyibak tirai kamar Tina. Poster-poster ukuran besar tertempel di mana-mana, persis kayak musim kampanye. Semuanya memajang wajah cowok-cowok tampan berbagai pose dengan huruf bulat-bulat khas Korea yang menunjukkan nama mereka, bahkan Edit sendiri mengakui wajah para model itu memang tertib. Andai saja mereka memakai baju koko, celana bahan, kemudian ikut casting KCB, pastilah jumlah penonton akhwat makin membludak.

"Bahkan di kaca lemari pun dia tempel poster berhala itu! Lemari itu kan berada di arah kiblat!" seru Mbak Nita berang.

Jujur saja, Edit masih merasa telinganya tertusuk dengan kata berhala, apakah tidak ada padanan kata lainnya yang lebih enak didengar?

"Tina bilang mereka itu idolanya, kamu bayangkan saja orang-orang kafir seperti itu jadi idola! Tiap hari menyetel lagu-lagu mereka, bahkan dihapal-hapal segala, semalam saja dia baru tidur jam dua belasan karena menonton sinetron Korea itu!" Mbak Nita menunjuk-nunjuk televisi.

"Ssst, Mbak, nggak baik loh bilang seseorang kafir ketika masih hidup, barangkali suatu hari mereka jadi mualaf kayak Jacko, hayyo!" kata-kata Edit itu malah bikin Mbak Nita makin geram.

"Sudah dari dulu Mbak mau robek poster-poster itu, tapi Tina mengancam mau kabur dari rumah kalau Mbak rusak sedikit saja poster itu! Keterlaluan kan?"

Edit terhenyak. Sepertinya ia memang terlalu asyik dengan urusannya sendiri hingga tidak memperhatikan kelakuan Tina akhir-akhir ini.

Benarkah apa yang dilaporkan mbak Nita tadi? Atau mbak Nita saja yang berlebihan? Tapi kalau diingat-ingat lagi kejadian semalam, nampaknya ke-lebay-an mbak Nita kali ini memang beralasan. Edit merasa harus melakukan sesuatu. Secara, dialah pemimpin di rumah ini.

Sejak Bapak meninggal, Ibu bekerja di luar. Pagi sekali sudah pergi, terkadang malam sekali baru kembali. Tina yang baru saja lahir begitu saja dipercayakan pada pengasuh. Inilah yang membuat Edit iba pada si bungsu.

Dulu, Nita dan Edit diajarkan mengaji oleh Ibu, dimarahi setiap ketinggalan shalat jamaah di masjid oleh bapak, mereka pun disodorkan bacaan-bacaan mengenai agama, pengetahuan umum, dan kisah-kisah. Akan tetapi Tina tidak. Makanya Edit selalu merasa ikut andil dalam kesalahan pengasuhan adiknya itu.

Setidaknya ia tidak ingin mendidik Tina dengan kekerasan sebagaimana mbak Nita contohkan. Yang ia lihat, kekerasan hanyalah memancing kekerasan yang lain.

Salahnya, proses pencarian data skripsinya akhir-akhir ini membuatnya luput memperhatikan Tina. Mana ia tahu kalau saat ini si bungsu terserang demam BBF? Kalau saja tadi malam ia tidak menjadi korban keganasan wabah ini, tentu ia takkan percaya bahwa demam BBF begitu parah.

Beberapa hari ini Edit mulai melakukan pemantauan. Rupanya benar, begitu pulang sekolah Tina langsung menghidupkan komputer dan menyalakan winamp. Lagu 'Paradise' berkumandang keras, tampaknya inilah lagu soundtrack BBF itu. Layaknya orang budek, Tina duduk di depan speaker persis. Sambil membuka tabloidnya, ia pun ikut menyanyikan lagu itu dengan gegap gempita, seolah sedang mengikuti pertunjukan musik live.

Tidak hanya sekali, lagu 'Paradise' itu saja diulangnya hingga tujuh-delapan kali, belum lagu lainnya. Kelihatan jelas Tina berupaya menghapal mati lirik lagu berbahasa Korea itu. Hal yang tidak pernah dilakukannya jika untuk menghapal surat pendek dalam juz'amma.

Begitu Edit mencoba pedekate, masuk ke kamarnya dan memancing pembicaraan mengenai BBF. Roman muka Tina langsung terlihat begitu senang. Dengan antusias ia perkenalkan satu per satu nama tokoh F4 dan 'Sanchai' versi Korea itu.

"Ini Lee Min Ho, Mas! di BBF dia jadi Goo Junpyo. Nah, pasangannya itu Geum Jandi, nama aslinya Gyo Hye Sun, mirip kan sama gue?" Tanya Tina sambil tersenyum amat lebar, berusaha meniru pose Gyo Hye Sun di salah satu poster. Meski dalam hati merasa miris, tetap saja Edit mencoba tidak menyakiti perasaan adiknya itu. Ia tersenyum dipaksakan.

"Mas boleh pinjem tabloidnya nggak?"

"Buat apa?" Tina bertanya penuh selidik.

"Baca-baca aja. Masa' nggak boleh?"

Tina memajukan bibirnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan matang-matang.

"Boleh sih, asal jangan lecek, jangan ada yang sobek, jangan kena air apalagi minyak, jangan didudukin, jangan ditidurin, en jangan ada yang dicoret-coret! Ini udah gue setrika tauk!" Tina mencoba meyakinkan bahwa tabloid itu adalah pusaka keramat yang paling penting di muka bumi ini, sehingga untuk membawa ke kamarnya saja, Edit harus dipantau dengan cermat.

Huaahh...

Begitu sampai di wilayah kekuasaannya. Edit memulai aksinya. Ia melakukan apa yang selalu dilakukan oleh missionaris tapi ogah dilakukan para da'i: Mendalami ilmu yang dimiliki lawan, untuk dijadikan senjata makan tuan agar takluk pada tujuannya!

Ia pun segera membuka berita-berita tentang BBF dari tabloid itu.
"Ya ampun, Na, ngapain sih susah payah ngapalin lagu begitu?" Edit berkomentar begitu melihat adiknya sedang tekun bernyanyi lagu 'Paradise' sendiri, tanpa musik. Ia masuk ke kamar Tina dalam rangka mengembalikan tabloid yang sudah dipelajarinya dan membuatnya geleng-geleng kepala itu.

"Enak tauk, Mas, lagunya!" Tina berargumen, "Gue suka sama lagu Paradise, bikin mood gue jadi bagus."

Edit tertawa kecil.

"Emangnya ngapalin lagu Paradise gitu bisa dapat pahala, terus bikin kita masuk surga? Mending ngapalin As'maul husna sekalian, ketahuan untungnya." Edit menyindir. Mencoba mengetuk pintu kesadaran sang adik.

"Yee... buat seneng-seneng aja kalee!" Tina senewen, paling nggak suka kalau mulai diceramahin.

"Ya bukan begitu, Na! Kalau seneng-seneng se-jam masih nggak pa-pa, lah kalau seharian senang-senang yaa berabe. Time is Life! You know?"

"Mas sih nggak ngelarang kamu seneng, tapi mbok ya jangan berlebihan! Coba kamu perhatiin lagi BBF ini, bukankah malah ngebikin penonton jadi bersifat konsumerisme? Lihat tokoh F4 nya! Mereka sudah dirancang tampil mewah, tidak pernah memakai kostum yang sama dua kali, bahkan disebutin di tabloid ada kostumnya yang seharga enam puluh jutaan, juga ada helm motornya yang dipakai syuting seharga seratus juta lebih..."

"Hebat kan, Mas! kereen..." potong Tina.

"Kalau baju harga segitu nggak keren yaa kebangetan!" cela Edit.

"Tapi Mas, tokoh Geum Jandi sederhana kok, bersahaja dan pantang menyerah, patut ditiru!"

"Patut ditiru?" Edit mengernyit kaget, "Kamu gimana sih? Coba lihat profil pemainnya dong!"

"Udah tauk kalee... Gyo Hye Sun itu idolaku, dia artis multitalenta, bisa nyanyi, bisa gambar, bisa nulis novel, gila keren abiss!" Tina berpromosi.

"Tapi dia suka nenggak minuman beralkohol, perhatiin dong Na! Bahkan minumnya nggak tahu batasan, makan pun begitu, masa' bisa makan delapan jam non stop! Ingat... Rasulullah berpesan makanlah ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, itu cara makan sehat!" Edit menunjuk salah satu artikel di tabloid yang memampang foto Gyoo Hye Sun.

"Udah gitu... dia terlalu gila kerja dan karir, tidur hanya sejam, bahkan takut menikah. Haduuh Tina... masa' profil yang kayak begini mau dijadiin panutan?"

Tina terdiam. Agak-agak syok memikirkan ada secercah kebenaran dalam ucapan Mas-nya itu.

"Jujur saja... Mas juga nggak suka kamu tempel poster di kamar kayak begini, mbak Nita bilang persis berhala Namrud! Pikir-pikir bener juga sih..."

"Terus Mas maunya apa?" Tina mulai ketus.

"Jangan gitu dong, Mas, sih berprinsip... Kerjakanlah segala hal sesukamu, asal memberi manfaat aja buat diri sendiri dan orang lain, boleh manfaat di dunia, atau manfaat untuk kelak di akhirat. Lah sekarang tinggal tanyain ke diri Tina sendiri... kalau saya melakukan hal ini manfaatnya apa ya buat di dunia? Trus kalau buat di akhirat apa? Kalau memikirkan hal kayak gini insya Allah kamu nggak akan berlebihan."

Pembicaraan selesai sampai di situ. Tiba-tiba Nita sudah berdiri di depan tirai kamar Tina.

"Na, kalau kamu nggak melepas poster-poster itu, mbak yang bakalan lepasin paksa sekarang juga!" ancamnya serius. Rupanya Nita terobsesi ingin meniru tindakan Nabi Ibrahim memenggal patung-patung berhala, tapi Tina nggak rela.

"Biar gue yang lepasin sendiri!" ujarnya sambil mulai berjalan ke lemari dan dinding, mempreteli poster-poster BBF itu.

Nita tertawa senang dalam hati, ia merasa telah berhasil menaklukan Tina dengan caranya. Sementara Edit hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakan mbak-nya itu.

SUMBER SILAHKAN KLIK



You Might Also Like

0 comments